Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin: Kita Perlu Sertifikasi Khatib

Edisi: 48/45 / Tanggal : 2017-01-29 / Halaman : 100 / Rubrik : WAW / Penulis : Sunudyantoro, Sapto Yunus, Raymundus Rikang


NEGERI ini kebanjiran kasus berlatar belakang agama dalam beberapa bulan terakhir. Dari laporan dugaan penistaan agama yang muncul silih berganti, larangan ibadah dan perayaan hari besar keagamaan, hingga penolakan kedatangan Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Tengku Zulkarnain di Sintang, Kalimantan Barat, dua pekan lalu.

Pada saat yang sama, pengaruh organisasi kemasyarakatan Islam garis keras, seperti Front Pembela Islam, semakin besar, sedangkan ormas Islam moderat, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, merasa berjarak dengan pemerintah. Wajar jika publik bertanya apa kerja Kementerian Agama selama ini.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menentang ormas garis keras. "Sejauh yang saya pahami, Islam sama sekali tidak mengajarkan kekerasan," kata Lukman. Putra Saifuddin Zuhri—Menteri Agama di akhir era Sukarno—ini mengatakan kementeriannya tak bisa banyak bergerak meredam gejolak seputar kasus dugaan penistaan agama karena kasus tersebut berada di ranah hukum. "Saya tidak dapat masuk. Bisa offside," ucapnya.

Minimnya peran Kementerian Agama membuat Lukman, 54 tahun, terseret isu perombakan kabinet, yang disebut-sebut bergulir pada awal tahun ini. "Nothing to lose saja," katanya. Di tengah pelbagai persoalan itu, ada kabar baik dari kementerian ini. Dua pekan lalu, kuota haji Indonesia bertambah 10 ribu menjadi 221 ribu. Kenaikan kuota ini memangkas antrean keberangkatan haji rata-rata sekitar tiga tahun.

Di ruang tamu kantor Kementerian Agama di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu, Lukman menerima wartawan Tempo Sunudyantoro, Sapto Yunus, Raymundus Rikang, Reza Maulana, fotografer Frannoto, dan videografer Dwi Oktaviane. Selama sekitar satu jam, Lukman menjelaskan pelbagai hal, dari isu yang memecah kerukunan antarumat beragama, rencana sertifikasi khatib, hingga pandangannya tentang habib. Dalam sesi foto, lulusan pondok pesantren Gontor, Jawa Timur, ini menolak berpose berselempang sorban dengan alasan ia belum pantas mengenakan penutup kepala yang biasa dikenakan ulama itu.

Setelah Aksi Bela Islam, bermunculan kasus intoleransi. Apa akar masalahnya?

Ini masalah kompleks. Ada peningkatan ekspresi beragama. Kasus penistaan agama itu pemicu saja. Demonstrasi pada 4 November dan 2 Desember lalu adalah wujud demokrasi, sehingga rakyat berani menunjukkan diri. Melihat situasinya yang damai, aksi 2 Desember itu positif. Ini merupakan populisme yang dibungkus agama. Tapi jangan lupakan fenomena ini tak terjadi di ruang hampa. Ada konteks pemilihan kepala daerah, rivalitas politik, persaingan ekonomi, dan ideologi luar, seperti paham khilafah. Semua mempengaruhi. Kita harus memilah dengan cermat. Tindakan yang negatif, seperti radikalisme yang mengarah pada ekstremitas serta penolakan terhadap keberagaman, harus disikapi dengan tegas.

Apa yang dilakukan pemerintah?

Kementerian Agama menyusun program agar jati diri keindonesiaan tak tercerabut. Para penyuluh agama kami beri wawasan untuk merespons fenomena intoleransi. Aparat sipil negara Kementerian Agama juga dibina…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…