Presiden Republik Indonesia Joko Widodo: Kami Berhadapan Dengan Mafia
Edisi: 15/46 / Tanggal : 2017-06-11 / Halaman : 98 / Rubrik : WAW / Penulis : Budi Setyarso, Wahyu Dhyatmika, Istman Musaharun
PRESIDEN Joko Widodo tak bisa menyembunyikan kegusarannya ketika menanggapi maraknya aksi kelompok yang diduga ingin mengganti dasar negara. Pertengahan Mei lalu, ia memerintahkan aparatnya "menggebuk" siapa pun yang mengancam Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ungkapan itu muncul sampai tiga kali dalam tiga pertemuan. Tak ayal, istilah ini mengingatkan khalayak pada cara Presiden Soeharto saat merespons isu-isu yang mengganggu Orde Baru. "Karena menyangkut hal fundamental, enggak ada kata yang bisa mewakili lagi," ujar Jokowi, 55 tahun, ketika ditanya soal kesamaan itu.
Presiden Jokowi mengaku memahami resahnya publik menghadapi bahaya radikalisme dan intoleransi. Namun dia menegaskan bahwa menghangatnya temperatur politik belakangan ini adalah ekses tak langsung dari pemilihan kepala daerah. Karena itu, Jokowi mengajak masyarakat kembali guyub meski punya pilihan politik berbeda. Para kandidat, tim sukses, dan elite politik, kata dia, bertanggung jawab memberikan pemahaman bahwa pemilihan umum adalah pesta demokrasi yang tak perlu disertai dengan kebencian berlarut-larut. "Begitu pilkada rampung, ya sudah, jangan ajak rakyat terus menjelekkan," kata mantan Gubernur DKI Jakarta dan Wali Kota Surakarta ini.
Selasa pekan lalu, Presiden Jokowi menerima wartawan Tempo Budi Setyarso, Wahyu Dhyatmika, Istman Musaharun, dan Raymundus Rikang di Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Jokowi didampingi juru bicara kepresidenan Johan Budi S.P. serta Kepala Biro Pers, Media, dan Informasi Bey Machmudin. Di tengah wawancara, Johan dan Bey kerap menyela, mengingatkan Presiden agar tak menjawab isu sensitif, seperti manuver politik Panglima Tentara Nasional Indonesia dan kasus penistaan agama yang menjerat mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. "Tugas mereka di sini memang merusak konsentrasi kalian," ujar Presiden berseloroh.
|||
Apa alasan Anda merespons intoleransi dan radikalisme dengan menggunakan istilah "gebuk"?
Saya ingin penjelasannya clear bahwa Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika sudah final dan rampung. Tak bisa diotak-atik lagi. Yang mulia para pendiri bangsa, pejuang, bahkan ulama sekalipun sudah bersepakat soal landasan ideologi bangsa. Jika ada yang berani mengotak-atik, ungkapan itu yang paling pas. Tak ada kata lain: gebuk! Kita tak bisa menawar mereka yang coba-coba mengubah dasar dan ideologi negara.
Kata itu muncul secara spontan atau hasil anjuran?
Itu muncul saat pertemuan dengan pemimpin redaksi media massa di Istana Merdeka, Rabu tiga pekan lalu.
Banyak pihak mengaitkan "gebuk" dengan gaya bahasa represif ala Orde Baru....
(Presiden Jokowi tertawa) Karena sangat fundamental, enggak ada kata yang bisa mewakili lagi. Kalau pernyataannya setengah-setengah, kelihatan enggak tegas. Apalagi ini menyangkut sesuatu yang mendasar, tak bisa ditanggapi dengan pernyataan yang normatif. Pemilihan kata yang tepat, ya, cuma "gebuk".
Seberapa genting ancaman terhadap ideologi kita sehingga Anda harus demikian tegas?
Itu sebuah warning bahwa eksistensi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI adalah hal fundamental. Jangan ada yang berani-berani dan coba-coba mengotak-atik lagi.
Apakah upaya…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…