Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek: Yang Antivaksin Jangan Egois

Edisi: 43/46 / Tanggal : 2017-12-24 / Halaman : 62 / Rubrik : WAW / Penulis : Nur Alfiyah, Angelina Anjar Sawitri, Reza Maulana


DIFTERI seperti bangkit dari kubur. Sempat dinyatakan nyaris lenyap dari Indonesia pada 1990-an, penyakit yang menyerang saluran napas bagian atas ini tiba-tiba muncul kembali. Sejak Januari hingga pertengahan pekan lalu, tercatat 714 orang di 25 provinsi terserang Corynebacterium diphtheriae-bakteri penyebab difteri. Sebanyak 38 orang di antaranya meninggal. Sebelas provinsi telah melaporkan kejadian luar biasa (KLB) difteri.

Awal pekan lalu, Kementerian Kesehatan menggelar outbreak response immunization (ORI) atau tindakan vaksinasi setelah merebaknya suatu penyakit di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, tiga provinsi dengan pasien aktif tertinggi. Vaksinasi menyasar 7,9 juta anak, mulai usia 1 sampai 19 tahun.

Meski mematikan, penyakit ini bisa ditangkal lewat imunisasi. Namun Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek mendapati banyak orang tua tidak mau anaknya diimunisasi. "Kami menduga kembalinya difteri karena banyak gerakan antivaksin," ujar Nila, 68 tahun. Dari total pasien, dua pertiganya sama sekali tidak memiliki tingkat imunitas terhadap difteri.

Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini meminta masyarakat menyadari bahaya di balik sikap antivaksin tersebut. "Kalau dia terkena penyakit, lalu menularkan ke orang lain, bagaimana?" kata Nila.

Kamis sore pekan lalu, Nila menerima wartawan Tempo Nur Alfiyah, Angelina Anjar, dan Reza Maulana di kantor Kementerian Kesehatan, Kuningan, Jakarta Selatan. Nila didampingi sejumlah bawahannya, di antaranya Sekretaris Jenderal Untung Suseno Sutarjo dan Direktur Pengawasan dan Karantina Kesehatan Elizabeth Jane Soepardi, yang beberapa kali membantu menjawab pertanyaan.

III

Mengapa difteri kembali merebak?

Kami menduga karena tingginya gerakan antivaksin. Dua pertiga pasien dari semua kasus, tingkat imunitas difterinya nol. Contohnya, saat saya mengunjungi Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta Utara, Senin pekan lalu, dari 33 kasus, 22 di antaranya anak-anak. Usia mereka rata-rata empat tahun, artinya lahir pada 2013. Itu saat kasus difteri turun setelah sempat muncul pada 2009. Ada orang tua yang memang tidak mau anaknya diimunisasi, tapi ada juga yang tidak disiplin. Vaksinasinya bolong-bolong.

Apa akibatnya?

Itu menyebabkan terjadinya kesenjangan kekebalan atau immunity gap dalam populasi. Hal ini disebabkan oleh adanya akumulasi kelompok yang rentan terhadap difteri yang tidak mendapat imunisasi atau imunisasinya tidak lengkap. Akhir-akhir ini sering ditemukan ada penolakan terhadap imunisasi. Hal inilah yang membuat capaian cakupan imunisasi rendah.

Ada pemetaan soal penyebab imunitas nol tersebut?

Belum. Secara…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…