Hikayat Si Ucup Dari Sumedang

Edisi: 47/18 / Tanggal : 1989-01-21 / Halaman : 26 / Rubrik : KRI / Penulis :


IA pernah menjadi model iklan. Duduk di pinggir perangkat komputer yang sedang dimainkan oleh seorang perempuan muda, sementara tangan kanannya menggenggam sebuah cangkir. "Mereka yang sukses membagi saat-saat minum kopi mereka dengan Anda," demikian bunyi iklan kopi itu.

Lelaki dalam iklan itulah yang disebut "mereka yang sukses". Lelaki yang mestinya dikenal banyak orang, karena ia memang "sukses". Dan siapa lagi bila bukannya yang bernama Jusuf Randy, seorang yang kini menarik perhatian karena ulahnya yang beragam.

Mula-mula Jusuf, yang lebih sering tampil berdasi itu, tenar sebagai pemilik dan pendiri Lembaga Pendidikan Komputer Indonesia Amerika (LPKIA) -- lembaga pendidikan yang mulai berjalan enam tahun lalu. Sebagai pendiri, Jusuf menjadi bahan pembicaraan di media massa. Maklum, LPKIA, tak sebagaimana umumnya lembaga sejenis, bisa berkembang dan diakui kualitasnya. Sampai tahun lalu lembaga itu memiliki 9 kampus, 287 dosen, 1.000 komputer, dan sebuah perpustakaan yang tergolong komplet. Dalam kata-kata sang tokoh itu sendiri, lembaganya adalah yang, "terbesar di Asia Tenggara."

Itulah sukses pertama Jusuf Randy, anak Abah Awat dan Emak Sukaesih. Jusuf kecil, yang dilahirkan di Regol Wetan, Sumedang, Jawa Barat, pada tahun 1942 biasa dipanggil si Ucup.

Zaman berubah, masa berkembang. Panggilan "Ucup" agaknya dianggap kurang "komersial". Tutur si empunya nama ketika berceramah di kampus UII (Universitas Islam Indonesia) April 1988: "Karena saya ingin kaya seperti dia, maka saya mengubah nama jadi Jusuf Randy. Kalau Jusuf Randa (janda), 'kan tidak pantas. Jusuf Randy lebih-bergengsi." Siapa "dia"? Itulah, konon, seorang janda kaya raya di Sumedang waktu itu.

Bayangan kekayaan, yang berarti uang bertumpuk, mobil berderet dan rumah berjejer, konon sudah mengejar-ngejar si Ucup sejak dini. Setiap kali abahnya bertanya, "Lamun geus gede maneh arek jadi naon?" -- Jika besar nanti kamu mau jadi apa? Jawab Jusuf kecil dengan gagahnya, selalu "Arek jadi juragan, Bah." -- Ingin menjadi saudagar, Bah.

Lalu si kecil bercita-cita besar ini pun menempuh sekolah dasar di Bandung. Sebab, "Kami sekeluarga pindah ke Bandung tahun 1946," katanya, seperti dikutip oleh tiga majalah Ibu Kota. Di majalah Amanah, Jusuf rupanya menambahkan penjelasan. Katanya, pindah mereka ke Bandung lantaran didorong kepedihan hati setelah ayahnya, Abah Awat, meninggal.

Di kota ini Jusuf mulai mengumpulkan sendiri uang sen demi sen. Itulah boleh dikata modalnya awalnya untuk menjadi seorang juragan. Memang bukan modal untuk langsung berdagang, tapi modal untuk membayar uang sekolah. Ia, anak kedua dari lima bersaudara, sadar benar bahwa orangtuanya cuma petani kecil yang hidup sangat pas-pasan, yang cukup sulit bila harus membayari uang sekolah semua anaknya.

Kepada majalah Sarinah, Jusuf mengaku telah mulai mencari duit sendiri sejak umur 8 tahun. "Dari SD saya sudah membiayai diri sendiri. Saya dulu 'kan jongos sekolah. Tukang ngepel sekolah, makanya bisa sekolah cuma-cuma," tuturnya.

Setelah bertambah usia, "pangkat"…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

G
Genta Kematian di Siraituruk
1994-05-14

Bentrokan antara kelompok hkbp pimpinan s.a.e. nabanan dan p.w.t. simanjuntak berlanjut di porsea. seorang polisi…

S
Si Pendiam Itu Tewas di Hutan
1994-05-14

Kedua kuping dan mata polisi kehutanan itu dihilangkan. kulit kepalanya dikupas. berkaitan dengan pencurian kayu…

K
KEBRUTALAN DI TENGAH KITA ; Mengapa Amuk Ramai-Ramai
1994-04-16

Kebrutalan massa makin meningkat erat kaitannya dengan masalah sosial dewasa ini. diskusi apa penyebab dan…