Genta Kematian di Siraituruk

Edisi: 11/24 / Tanggal : 1994-05-14 / Halaman : 84 / Rubrik : KRI / Penulis : WY

JAM malam belum diberlakukan di Siraituruk. Tapi bila bintang mulai berkedip, warga di desa di Kecamatan Porsea, Tapanuli Utara, itu bergegas menutup pintu rumahnya. Mereka, misalnya, tidak ingin diculik atau digebuki orang-orang tak dikenal. Situasi mencekam ini terjadi sejak pertengahan April silam.

"Polisi yang menyuruh kami masuk rumah agar tidak ikut jadi sasaran Satgas," kata seorang warga yang beragama Islam. Satgas yang dimaksud adalah Satuan Tugas Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang dipimpin Eforus Doktor P.W.T. Simanjuntak. Kelompok itu berseteru dengan yang pro Doktor S.A.E. Nababan. Pemerintah ternyata mengakui HKBP yang dipimpin Simanjuntak.

Maka, timbullah pembangkangan. Misalnya, warga Patane I dan II di Siraituruk, yang hampir 100% pro Nababan, menolak menyerahkan gereja di desa itu kepada kelompok Simanjuntak. Kelompok HKBP pro Nababan lantas menamai dirinya SSA alias "Setia Sampai Akhir".

Karena situasi makin gawat, kelompok SSA membentuk tiga posko di Siraituruk. Masing-masing jaraknya 400 meter. Bila malam tiba, penjagaan di posko amat ketat. Yang lewat, termasuk polisi, selalu dicurigai, mengingat serbuan Satgas sering diawali munculnya polisi. "Jadi, bisa saja polisi itu yang membeberkan situasi daerah yang bakal diserang," kata seorang pendeta yang pro Nababan.

Pada 1 Mei malam, sekitar pukul 21.00, Sersan Dua Pangkiriman Tambun, 26 tahun, melintas di desa itu dengan motornya. Ia menuju ke kantornya, sekitar 5 km dari situ. Anggota Badan Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat itu baru…

Keywords: -

---

Foto Terkait