HARI-HARI AKHIR SEORANG WARTAWAN

Edisi: 10/18 / Tanggal : 1988-05-07 / Halaman : 43 / Rubrik : OBI / Penulis :


GADIS Rasid tidak mau disebut wartawati. Profesi wartawan, katanya, tidak mengenal diskriminasi antara lelaki dan perempuan. Sikap itu memang tampak dalam karier jurnalistiknya.

Saya bertemu Gadis pertama kali di Semarang, 1940. Ia pelajar Hogere Burger School (HBS), dan saya siswa Algemene Middelbare School (AMS), Yogyakarta. Kami berjumpa ketika menonton pertandingan bola keranjang antara pelajarpelajar Batavia dan Semarang. Kesan saya tentang Gadis, waktu itu 17 tahun, tidak kaku, sportif, dan menyenangkan.

Pada,zaman Fendudukan Jepang, kami sama-sama menjadi wartawan. Saya wartawan Asia Raya di Jakarta, Gadis pada koran Sinar Baru, yang dipimpin Parada Harahap dan A. Gaffar Ismail, di Semarang.

Awal 1945 dia ke Jakarta. Kami bertemu lagi; Februari 1946, tatkala saya menjadi wartawan Merdeka, kami sama-sama menghadiri pelantikan Mr. Icksan sebagai wali kota Republikein di Semarang.

Pada 4 Januari 1947, waktu memulai penerbitan majalah politik dan kebudayaan Siasat, saya minta Gadis turut serta. Dalam redaksi ada Soedjatmoko, Sanjoto, Soedarpo Sastrosatomo, dan Abu Bakar Lubis. Semua orang itu pintar-pintar, sehingga saya sering susah memastikan kepemimpinan, walau formalnya saya pemimpin redaksi.

Gadis lalu melontarkan tantangan-tantangan ke alamat saya.…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
Melukis itu Seperti Makan, Katanya
1994-04-23

Pelukis nashar yang "tiga non" itu meninggal pekan lalu. tampaknya sikap hidupnya merupakan akibat perjalanan…

P
Pemeran Segala Zaman
1994-04-23

Pemeran pembantu terbaik festival film indonesia 1982 itu meninggal, pekan lalu. ia contoh, seniman rakyat…

M
Mochtar Apin yang Selalu Mencari
1994-01-15

Ia mungkin perupa yang secara konsekuen menerapkan konsep modernisme, selalu mencari yang baru. karena itu,…