Melukis itu Seperti Makan, Katanya

Edisi: 08/24 / Tanggal : 1994-04-23 / Halaman : 70 / Rubrik : OBI / Penulis : BBU


BAGI Nashar, melukis sama dengan makan. Pernah ia sengaja bertahan tak menyentuh alat-alat melukisnya, "badan dan jiwa saya jadi loyo."

Pelukis itulah yang Rabu pekan lalu meninggal dunia di rumahnya, di daerah Cililitan, Jakarta Timur. Pelukis yang oleh sebagian seniman disayangkan karena keras kepalanya, yang siap mengorbankan apa pun agar ia tetap bisa melukis, termasuk bila harus bercerai dengan istrinya. Ia memilih menjadi "penghuni" Balai Budaya, gedung tempat pameran seni rupa, karena di situ tak ditarik ongkos, meski harus tidur di meja, kursi, atau lantai. Dan ketika pengurus gedung tersebut memberlakukan kebijakan baru, Nashar pindah dari rumah kontrakan yang satu keyang lain.

Apakah antara hidupnya yang sulit itu dan karyanya ada kaitannya?

Sebagaimana umumnya para pelukis kelahiran sebelum kemerdekaan, Nashar masih berada dalam konsep "jiwa nampak" nya Sudjojono, bapak seni rupa modern kita. Garis, warna, goresan, dan sapuannya kurang lebih dituntun oleh "kata hati"-nya.

Sampai tahun 1973, Nashar masih menghadirkan objek dalam karyanya. Toh orang segera…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
Melukis itu Seperti Makan, Katanya
1994-04-23

Pelukis nashar yang "tiga non" itu meninggal pekan lalu. tampaknya sikap hidupnya merupakan akibat perjalanan…

P
Pemeran Segala Zaman
1994-04-23

Pemeran pembantu terbaik festival film indonesia 1982 itu meninggal, pekan lalu. ia contoh, seniman rakyat…

M
Mochtar Apin yang Selalu Mencari
1994-01-15

Ia mungkin perupa yang secara konsekuen menerapkan konsep modernisme, selalu mencari yang baru. karena itu,…