KAMBOJA, SIHANOUK DAN VIETNAM

Edisi: 03/14 / Tanggal : 1984-03-17 / Halaman : 18 / Rubrik : LN / Penulis :


LAGU Tari Ramvong terdengar nyanng di sebuah restoran sea food di pinggir Sungai Tonie Sap yang membelah Phnom Penh ibu kota Kamboja. Lagu perjuangan yang dinyanyikan dalam irama pop itu diputar beberapa kali oleh wanita peniaga restoran itu, atas permintaan beberapa pengunjung. "Ramvong dance memang lagi top-hit di sini," kata seorang Kamboja.

Restoran milik Departemen Perhubungan Kamboja itu masih ramai dikunjungi tamu, sekalipun waktu sudah menunjukkan hampir pukul 21.00, batas waktu jam malam di Phnom Penh. "Tenang saja. Jam malam memang masih kami pertahankan, tapi itu berlaku elastis," kata seorang pejabat Deplu. Dan rekannya menimpali, "Jam malam kami pertahankan untuk menghemat energi."

Benar juga. Mobil merk Volga buatan Rusia yang membawa kami pulang ke hotel, lewat jam malam itu, hanya sekali dihadang oleh dua petugas bersenjata, seorang tentara Vietnam dan seoran lai tentara Kamboja. Lalu dibiarkan lewat setelah sopir menerangkan dalam bahasa sana.

Phnom Penh pada malam hari memang masih terasa gelap dan sepi. Setiap perempatan dan beberapa instansi pemerintah masih dijaga tentara. Tapi kehidupan di pagi hari sudah jauh lebih ramai dibandingkan dua setengah tahun silam, ketika saya berkunjung ke sana.

Kini jalan-jalan, yang serba lebar, tampak bersih. Dan puing-puing warisan Perdana Menteri Pol Pot, pendahulu Heng Samrin, sudah tak lagi berserakan seperti dulu. Orang-orang yang memikul barang dagangannya, bemo yang sarat penumpang, deru sepeda motor buatan Jepang, dan lalu lintas truk yang mulai ramai menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi sudah berangsur pulih di kota yang praktis mati empat tahun lampau.

Salah satu pemandangan pagi yang mencolok adalah di depan,stasiun di Phnom Penh. Ribuan manusia menjejali kereta api yang dua minggu sekali berangkat ke Battambang. Mereka umumnya adalah pedagang yang membeli macam-macam barang yang diselundupkan dari perbatasan Muangthai ke Battambang, untuk kemudian dijual lagi di Phnom Penh: tape recorder, tekstil, batik cap, sabun, rokok putih 555 sampai Dunhill, obat-obatan, jam tangan, kopl, dan barang-barang kebutuhan sehari-hari lainnya. "Itulah bisnis jutaan dolar,"kata seorang Kanada yang bekerja untuk salah satu organisasi bantuan internasional.

Bisnis "jutaan dolar" itu pernah terhambat karena rel kereta api ke Battambang dirusakkan kaum gerilyawan yang antipemerintah Heng Samrin, konon Khmer Merah. "Tapi sekarang sudah normal kembali," kata Kong Srun, 57, wakil gubernur provinsi Battambang, (Lihat: suatu Siang di Battambang).

Suasana yang tampaknya normal itu juga terasa di pasar Phnom Penh. Siang itu, 3 Maret, serombongan turis turun dari bis Obitour, di depan pasar paling besar di Phnom Penh. Mereka kebanyakan datang dari Rusia, Eropa Timur, tapi ada juga turis Swedia dan Jepang.

Obitour, salah satu kegiatan Departemen Perhubungan Kamboja yang bekerja sama dengan Yumiori Travel, bahkan membawa para turis asin itu hingga di Siem Riep seperti diberitakan dalam Bangkok Post, 18 Februari lalu. Siem Riep dan Battambang adalah dua dari sekian kota yang konon pernah diduduki selama setengah hari oleh pasukan Khmer Merah. Itu pula kata Pangeran Sihanouk dalam konperensi pers di Wisma Negara, ketika berkunjung ke Indonesia akhir bulan lalu.

Apakah Obitour masih berani mengajak para turis ke Siem Riep dan Battambang? Entahlah. Tapi kunjungan ke pasar Phnom Penh rupanya masih merupakan acara tetap bagi mereka. Di pasar itu, tak ada yang tak dijual: tekstil halus, kaca matafan, kamera Jepang, sampai barang antik.

Pasar gelap pun berlangsung dengan santainya, di depan mata tentara Vietnam sekalipun. Untuk satu lembar dolar AS, orang mudah memperoleh 40 riel, mata uang Kamboja, sepuluh kali lipat kurs resmi. Membayar dengan dolar tampaknya merupakan hal yang biasa. Mereka keberatan dibayar dengan dong, mata uang Vietnam, yang di pasar gelap hanya bernilai sepertiga riel.

Adapun barang-barang konsumsi yang dijual di sana, selain masuk dari Muangthai lewat lattambang, juga masuk dari Singapura. "Semingu sekali ada kapal yang berlabuh di sini dari Singapura," kata seorang pedagang tekstil.

Jalan menuju ke sosialisme, seperti diakui seorang diplomat Vietnam, merupakan jalan yang panjang di Kamboja. Tapi sang diplomat, yang bertugas sejak tahun 1979 di Kamboja, merasa kagum melihat kemajuan negeri kecil itu. "Bayangkan, mereka mulai dari nol, dari puing-puing yang ditinggalkan Pol Pot, katanya.

Bekas-bekas tangan rezim Pol Pot memang masih tampak di Phnom Penh. Bank Sentral yang dimusnahkan, berikut segenap kekayaan dan arsipnya, masih rata engan tanah hingga sekarang. Bangkai ribuan mobil masih tampak bertumpuk di beberapa…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Serangan dari Dalam Buat Arafat
1994-05-14

Tugas berat yasser arafat, yang akan masuk daerah pendudukan beberapa hari ini, adalah meredam para…

C
Cinta Damai Onnalah-Ahuva
1994-05-14

Onallah, warga palestina, sepakat menikah dengan wanita yahudi onallah. peristiwa itu diprotes yahudi ortodoks yang…

M
Mandela dan Timnya
1994-05-14

Presiden afrika selatan, mandela, sudah membentuk kabinetnya. dari 27 menteri, 16 orang dari partainya, anc.…