Aduh Di Balik Tawa
Edisi: 05/04 / Tanggal : 1974-04-06 / Halaman : 49 / Rubrik : TER / Penulis : Syu'bah Asa
TEATER Arena Taman Ismail Marzuki, pertengahan Maret. Tepat jam
delapan malam, para pemain muncul dan dengan kalem menyiapkan
pentas -- termasuk lampu di langit-langit, entah ini pura-pura.
Dari mikrofon di belakang, pembawa acara memberi komentar
sandiwara yang disuguhkan dengan suara mengantuk, lucu dan
kadang vulgar. Tiba-tiba terdengar raung sirene. Semua kegiatan
berhenti, para pemain beku. Dua orang maju pelan-pelan ke bagian
depan, berjalan sambil mendengar-dengar, berhenti dan berunding
sedikit tanpa suara. Ketika mereka kembali, semua tiba-tiba
tertawa -- termasuk penonton. Tak ada apa-apa. Lampu kembali
lebih terang dan mikrofon kembali nyap-nyap. Tetapi ketika para
pemain baru saja selesai ganti pakaian, sirene yang tadi meraung
lagi. Dalam sunyi, seorang pemain diiringi perempuan pelayan
maju ke bagian depan. Ia melepas baju tinggal singlet, mengganti
celananya dengan komprang dan diberi kerudung selimut kumal.
Perempuan kembali ke belakang, sedang pemain ini pelan-pelan
melangkah: mengerang, gemetar, meliuk-liuk, dan menunjukkan
dialah orang sakit itu. Sirene sudah berhenti. Semua orang
satu-persatu sudah bergerak. Sandiwara sudah rmulai.
; Pigura.
; "Kapankah sandiwara benar-benar mulai?" Ini tampaknya cukup
menggoda Putu Wijaya yang mementaskan naskah ini tiga malam
berturut-turut bersama grupnya, Teater Mandiri. Jarak antara
persiapan, main-main dan "lakon sesungguhnya" memang menjadi
kabur, dan itu boleh menimbulkan daya pikat yang menyenangkan.
Hubungan kehidupan di pentas dengan hidup sehari-hari di luarnya
dihadirkan dengan transparan, dan Aduh dengan demikian dibawakan
menurut watak dasarnya yang memang main-main. Itulah bedanya
misalnya dengan cara pendekatan Teater Ibukota, yang juga
mementaskan naskah ini pada Festival Teater Remaja yang lalu
(TEMPO, 2 Maret). Menarik sebagai perbandingan, sutradara Abdi
Wiyono dari grup tersebut memandang lakon ini tetap dalam satu
pigura yang utuh, lepas dari dunia di luar pentas. Dengan awal
dan akhir yang jelas, karakter main-main diterjemahkannya ke
dalam gaya reog yang sangat menyenangkan dan dengan itu
pertunjukan berlangsung kempal, necis dan…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Logika Kartun sebagai Jembatan Komunikasi
1994-04-16Mungkin teater kami merasa masalah dalam naskah jack hibberd ini asing bagi penonton indonesia, ditempuhlah…
Peluit dalam Gelap
1994-04-16Penulis ionesco meninggal dua pekan lalu. orang yang anti kesewenang-wenangan kekuasaan, semangat yang menjiwai drama-dramanya.
Sebuah Hamlet yang Sederhana
1994-02-05Untuk ketiga kalinya bengkel teater rendra menyuguhkan hamlet, yang menggelinding dengan para pemain yang pas-pasan,…