SANG NYONYA DI TEPI HUTAN

Edisi: 34/05 / Tanggal : 1975-10-25 / Halaman : 40 / Rubrik : SD / Penulis :

SEJAK gadisnya di Semarang, Feronica Suprapti telah menaruh
perhatian pada jurusan sosial. Belajar di Sekolah Pekerja Sosial
Atas sambil bekerja pada Yayasan Katolik. Cuma belum terlintas
di matanya bahwa ia bakal terlibat dengan kerja yang keliwat
berat seandainya nasib tak mempertemukannya dengan R.F.X.
Wasito. Perjaka ini mendapat tugas belajar dari Departemen
Sosial untuk pembinaan suku terasing. Lima tahun silam, tatkala
meninggalkan Semarang dengan kapal laut menuju Palu (Sulawesi
Tengah),mereka masih dalam suasana bulan madu. Semula Ny. Wasito
membayangkan pos suaminya ini kira-kira sama ramainya dengan
kota Semarang. Nyatanya mereka bukan bermukim di ibukota
propinsi Sulawesi Tengah itu, melainkan masih 22 Km lagi di luar
Palu. Satu tempat yang masih sunyi, kecuai berpenghuni sejumlah
1.565 jiwa suku terasing yang baru saja diturunkan dari
belantara Sulawesi Tengah. Namanya: Rarantikala.

; Mujur ada bekal pengetahuan yang pernah didapat waktu bekerja di
yayasan tadi, sehingga rasa terbuang di tempat sepi cuma keburu
mengalir melalui air mata di hari-hari pertama. Nyonya Feronica
memang tak secara langsung mesti memikul tugas sosial itu, tapi
karena sang suami menjadi ketua team pembina dari Depsos, mau
tak mau ia tak sampai hati berpangku tangan. Tadinya nyaris si
suami dibiarkan berangkat sendiri. Tapi setelah
ditimbang-timbang, mereka sepakat berangkat berdua. "Lelaki
berbahaya dilepas sendiri", kelakar sang nyonya, "apa lagi
gadis-gadis suku terasing ini kecantikannya boleh juga", ujarnya
sambil menilik suaminya yang menyambutnya dengan senyum. Wasito
yang berdahi potongan lebar itu nampak memang penyabar. Tapi
bukan perkara cemburu itu benar yang mendorong minat Ny.
Wasito menyertai suaminya ke pedalaman ini. Melainkan
pertimbangan praktis saja: sebagai pekerja sosial yang tidak
tebal kantongnya, tentu amat sulit bagi si suami bolak-balik ke
Jawa.…

Keywords: -

---

Foto Terkait