Kisah Kota Terpadat
Edisi: 46/06 / Tanggal : 1977-01-15 / Halaman : 11 / Rubrik : KT / Penulis :
BANDUNG bukan lagi kota dingin. Hujan belakangan ini tak lagi membuatnya sejuk. Kampung-kampung yang padat dan lalu-lintas yang sesak telah menebarkan gerah.
Bandung heurin ku tungtung, kata Gubernur Jawa Barat Aang Kunaefi suatu ketika. Artinya, jangankan untuk berbaring-baring atau melonjorkan tubuh secara santai, dengan berdiri saja sudah terasa sesak di kota ini. Paris van Java? Kota Kembang? Mana mungkin. bila kota ini sudah tak begitu ramah lagi menerima kedatangan warga baru.
Dan memang masalah pokok yang merongrong kota ini sekarang adalah mencari upaya keluar dari kepengapan penduduk.
Perluasan kota memang telah dilakukan berkali-kali. Ketika pertama kali lahir sebagai kota otonom pada 1 April 1906, luas kota Bandung hanya 1.922 hektar untuk sekitar 39.000 jiwa penduduk. Sebelas tahun kemudian pemerintah Hindia Belanda menetapkan arealnya menjadi 2.871 hektar.
Lalu di tahun 1930 seorang ahli bangunan ir. Thomai Karsten merancang perluasan kota Bandung hingga 25 tahun kemudian. Menurut orang ini, yang dikenal dengan Plan Karsten, Bandung perlu diperluas menjadi 12.758 hektar, karena diramalkannya di tahun 1955 penduduknya akan berjumlah 750.000 jiwa. Tapi ketika perluasan terakhir kali dilakukan tahun 1949, areal kota ini hanya mencapai 8.098 hektar. Areal inilah yang dimiliki kota Bandung hingga sekarang, walaupun penduduknya sudah membengkak menjadi 1,6 juta jiwa.
Dengan demikian, apakah berarti kota Bandung harus diperluas lagi? Pertanyaan ini ternyata menjadi masalah tersendiri. "Kami hanya berusaha menjelaskan bahwa jumlah penduduk yang ada sekarang sudah tak sebanding lagi dengan luas kota yang ada", kata drs. E. Suparman, Sekda Kotamadya Bandung kepada TEMPO. Pejabat ini, seperti halnya pejabat-pejabat di Balaikota Bandung lainnya, dengan hati-hati menghindar untuk menjawab perlu tidaknya kota ini diperlebar. Bahkan Walikota Ubu Djunaedi hanya mengemukakan dua pilihan untuk mengatasi kepadatan kotanya. Pertama katanya, dengan memajukan wilayah-wilayah sekitar kota - sehingga penduduk di tengah kota tertarik untuk pindah ke sana. Sekaligus untuk mencegat kedatangan penduduk baru. Kedua, dengan perluasan wilayah administratif kota. "Saya tak ada pilihan terhadap dua teori itu", ucap Utju. Tetapi, tambahnya, kota-kota lain seperti Medan, Surabaya, Semarang dan Ujung Pandang telah memilih perluasan untuk memecahkan kepadatan penduduknya.
Tapi "apakah benar perluasan wilayah administratif itu hanya satu-satunya cara untuk memecahkan masalah penduduk perkotaan?" tanya Gubernur Aang Kunaefi (lihat box). Secara panjang lebar Gubernur Jawa Barat ini mengungkapkan program Bandung Raya, yang menurutnya adalah sistim perwilayahan yang paling kena untuk memecahkan masalah ini. Dan sekaligus buat memanfaatkan potensi regional propinsi ini.
Dalam rencana Bandung Raya itu penduduk kota Bandung akan dibatasi seminimal mungkin, yaitu dengan menyebarkan penduduk dan mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan sekeliling Bandung menurut hirarki perkotaannya. Fungsi pusat-pusat pertumbuhan itu diharapkan menjadi buffer atau counter magnet bagi pendatang-pendatang yang menuju atau dari kota Bandung sendiri. Pusat-pusat pertumbuhan tadi, kata Gubernur Aang pula, harus mampu mengimbangi daya tarik kota Bandung.
Gubernur Aang Kunaefi…
Keywords: Pembangunan Kota, Bandung, Aang Kunaefi, Ir. Thomai Karsten, Plan Karsten, Drs. E. Suparman, Utju Djunaedi, Ali Sadikin, Oekasah Suhandi, 
Artikel Majalah Text Lainnya
LEDAKAN DI MALAM NATAL
1985-01-05Bom meledak di dua tempat di gedung seminari alkitab asia tenggara dan di gereja katolik…
SENAYAN MENUNGGU PAK DAR
1984-02-11Keppres no.4/1984, seluruh kompleks gelora senayan (tanah yang diperuntukkan asian games ′62), dinyatakan sebagai tanah…
YANG TERTIB DAN YANG MENGANGGUR
1983-04-09Berdasarkan perda no.3/1972, gubernur soeprapto, akan melakukan penertiban terhadap bangunan liar dan becak-becak. bangunan sepanjang…