Catatan Pulau Buru

Edisi: 28/35 / Tanggal : 2006-09-10 / Halaman : 70 / Rubrik : PJL / Penulis : Zulkifli, Arif


MENJELANG pukul dua pagi, lelaki itu menelepon dengan suara yang terkesan digawat-gawatkan. ”Telepon saya sekarang, Pak. Penting!” Dia mematikan telepon selulernya, dan giliran saya yang menghubunginya.

”Bapak sedang sendiri? Kalau tidak, segera menjauh dari yang lain.”

Saya sendiri, jawab saya seraya mengumpulkan kesadaran.

”Ada info penting, tapi tolong jangan bilang siapa-siapa kabar ini dari saya.”

Katakan saja, saya menyergah.

”Begini, ada intel Kodim dalam rombongan Bapak. Dia memata-matai kegiatan Bapak di sini.”

Saya terkesiap. Intel Kodim? ”Siapa?” kata saya setengah berteriak.

”Sopir mobil Suzuki yang Bapak sewa. Namanya Debi. Saya kenal dia. Bapak harus hati-hati.” Klik, telepon ditutup.

Debi? Hampir tak percaya saya mendengarnya. Tubuhnya memang tegap, mirip postur tentara. Tapi bukankah kebanyakan orang Maluku berbadan kekar? Dia intel? Apa gunanya kami dibuntuti?

Kami bukan penjahat. Kami hanya tujuh manusia yang mengunjungi Pulau Buru—dataran di Kepulauan Maluku yang 10 tahun lamanya dijadikan tempat menyekap tahanan politik yang dituding terlibat Gerakan 30 September.

Tapi semuanya sudah berakhir lebih dari 25 tahun yang lalu. Pemerintah sudah berganti. Tentara sudah menyingkir dari panggung politik. Intel? Kenapa kami dibuntuti? Hingga subuh saya tak bisa tidur.

***

CERITA ini berawal dari kasak-kusuk Goenawan Mohamad dan Amarzan Loebis—keduanya redaktur senior majalah Tempo. Telah lama Goenawan, 65 tahun, berniat mengunjungi pulau itu. Amarzan, yang pernah menjadi tahanan politik di sana, diharapkan bisa menjadi pemandu.

Buat saya ini perjalanan yang unik. Sebelum ditahan, Amarzan adalah redaktur kebudayaan HR Minggu, surat kabar mingguan yang berafiliasi kepada PKI. Goenawan adalah penanda tangan Manifes Kebudayaan, lawan politik sastrawan ”kiri” kala itu. Setelah bebas pada 1979, Amarzan bergabung dengan Tempo. Keduanya kemudian bersahabat.

Mengunjungi Pulau Buru bersama mereka, saya membayangkan sebuah ”pertempuran ideologis” sepanjang jalan. Itulah sebabnya, mendengar niat itu, saya menggoda keduanya dengan sepucuk pesan pendek. ”Jika sastrawan Lekra dan peneken Manikebu pergi ke Pulau Buru, rasanya dibutuhkan anak muda yang lebih netral.” Goenawan membalas singkat, ”Ya, kamu ikut.”

Karena kesibukan keduanya, hampir setahun rencana itu tertunda. Baru akhir Juli lalu kami akhirnya berangkat. Belakangan ikut pula peserta lain: Teguh Ostenrik (perupa), Alif Imam (wartawan Radio 68H), Laksmi Pamuntjak (novelis), dan Ian White (sutradara film dokumenter asal Australia).

***

HENGKANG dari Jakarta dengan pesawat paling pagi, tak ada yang istimewa sepanjang perjalanan Jakarta-Ambon. Menginap di ibu kota provinsi semalam, perjalanan kami lanjutkan dengan menumpang KM Lambelo, kapal penumpang PT Pelni berbobot mati sekitar 10 ribu ton yang berlayar ke seantero Maluku.

Empat jam melaut menuju Buru, dari jendela…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

1
12 TAHUN, SETELAH KONFRONTASI
1975-12-20

Proyek perkebunan dan pemukiman dari sabah land development board (sldb) banyak menyerap buruh tamu dari…

M
MENENGOK ORANG HUTAN MODERN
1976-06-12

Laporan wartawan tempo atas peninjauan ke kal-tim dalam kegiatan kayan river timber products. pemilik hak…

M
MAKAM HAWA BERLUMUT & JEDDAH YANG... ; MAKAM HAWA BERLUMUT & JEDDAH YANG...
1976-10-30

Makam siti hawa, istri nabi adam yang terdapat di kota jeddah, berlumut. kota jeddah sudah…