Bedah Plastik Badan Intelijen

Edisi: 33/33 / Tanggal : 2004-10-17 / Halaman : 102 / Rubrik : ADV / Penulis : , ,


Pentingnya mengubah watak dinas intelijen menjadi lebih demokratis dan bersemangat sipil.

KEPALA Badan Intelijen Negara (BIN) A.M. Hendropriyono datang ke parlemen akhir September lalu, beberapa pekan setelah meletusnya aksi teror di depan Kedutaan Besar Australia, Jakarta. Hendropriyono meminta agar lembaganya diberi wewenang menangkap orang yang dicurigai sebagai teroris meski tanpa bukti awal. "Agar teror bom tidak terus berlanjut," katanya.

Permintaan Hendropriyono itu tidak khas. Di banyak negara, khususnya di Amerika Serikat setelah Tragedi 11 September 2001, badan intelijen menuntut wewenang lebih, termasuk wewenang untuk merambah dunia hukum, seperti menangkap orang, yang sebenarnya menjadi wewenang polisi.

Pantaskah permintaan seperti itu? Tidakkah terorisme -- bahkan jika klaimnya meyakinkan -- telah dipakai secara tidak proporsional sebagai dalih untuk menjustifikasi penguatan lembaga intelijen dan keamanan? Bukankah penguatan seperti itu, terlebih jika dibarengi dengan semangat anti-transparansi, justru akan mengancam demokrasi serta hak-hak sipil? Dan tidakkah penguatan wewenang itu merupakan manifestasi dari cara mendefinisikan keamanan secara sempit, cenderung bersifat militeristis dan anti-demokratis?

Berbagai pertanyaan tadi muncul dalam forum diskusi terarah yang diselenggarakan Reform Institute, sebuah lembaga kajian, di Jakarta pekan lalu. Ini merupakan seri diskusi kedua setelah pekan sebelumnya lembaga tersebut mendiskusikan reformasi sektor keamanan.

Diskusi pekan lalu menghadirkan pembicara dari berbagai kalangan: Bijah Subijanto (doktor dalam bidang intelijen dan guru besar Universitas Pancasila), Djoko Susilo (anggota Komisi DPR bidang Pertahanan dan Urusan Internasional), Jaleswari Pramodhawardani (peneliti LIPI dan Local Government Studies atau Logos), Eep Saefulloh Fatah (pengamat politik dan mahasiswa program doktoral Ohio State University, Amerika Serikat), Aviliani (pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economy and Finance, INDEF), dan Ivan Hadar (Direktur Indonesian Institute for Democracy Education, IDE).

Secara umum, selaras dengan diskusi pertama, para peserta diskusi kedua mengkhawatirkan meningkatnya wacana militeristis lembaga intelijen, terlebih jika tidak dibarengi dengan peningkatan akuntabilitas…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Solusi Untuk Industri Manufaktur
2005-12-25

Krisis telah menggoyang sektor riil, tulang punggung ekonomi kita. saatnya pelaku industri manufaktur berbenah dengan…

C
Citra Keunggulan Telekomunikasi Indonesia Masa Depan
2005-11-27

Memuat 24 transponder standar c-brand untuk memenuhi kebutuhan penyiaran dan komunikasi di indonesia dan beberapa…

7
70 Persen Perusahaan Otobis di Jawa Timur Gunakan Pelumas PERTAMINA
2006-03-26

Pelumas menjadi bagian penting bagi pemeliharaan sebuah kendaraan, baik kendaraan pribadi maupun angkutan umum. pastinya…