Abu Jibril: "Jamaah Islamiyah Cuma Kebohongan Amerika"

Edisi: 45/31 / Tanggal : 2003-01-12 / Halaman : 40 / Rubrik : WAW / Penulis : Fibri, Rommy, ,


KAMAR gelap itu tanpa jendela dan hanya menyisakan lubang angin yang kerap dilewati gerombolan nyamuk, sehingga udara di dalam ruang berukuran 3 x 2 meter persegi itu pengap dan panas. Tak sehelai tikar pun terbentang di lantai semennya. Kamar itu adalah sebuah ruang tahanan di Bukit Asam, markas besar kepolisian Malaysia, yang dianggap "angker" oleh warga setempat. Di sinilah Mohamad Iqbal Abdul Rahman alias Abu Jibril, 45 tahun, seorang warga negara Indonesia, melewatkan hari-hari pertama masa penahanannya setelah diciduk polisi Malaysia pada 30 Juni 2001.

Penangkapan itu disusul interogasi selama sepuluh hari yang melelahkan. Jibril mengaku menghadapi interogasi dari pukul delapan pagi hingga magrib di dalam kamarnya yang disinari lampu listrik 100 watt. Dia mengaku marah, jengkel, sekaligus putus asa menghadapi situasi tersebut. "Saya dizalimi dan tidak berdaya," dia menulis kepada TEMPO.

Polisi Malaysia menangkap Abu Jibril atas tuduhan melanggar Internal Security Act (ISA/Akta Keamanan Dalam Negeri). Dia didakwa akan mendirikan negara Islam, mengirim pasukan ke Maluku, dan ikut perang di Afganistan. Pada 23 Agustus 2001, Abu Jibril dipindahkan dari Bukit Asam ke Penjara Kamunting—tempat para tahanan politik Malaysia—di Perak.

Pertautan Abu Jibril dengan Malaysia bermula ketika dia berangkat ke negeri itu pada 1985 bersama Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir. Ketika itu, kebijakan politik Orde Baru dirasakan amat menekan sejumlah kelompok Islam Indonesia. Jibril mengaku, karena selalu berhadapan dengan tentara dan dituduh berniat menggulingkan kekuasaan yang sah, mereka memilih hidup di perantauan.

Berbeda dengan Abu Bakar Ba'asyir yang kembali ke Tanah Air setelah kejatuhan Soeharto, Abu Jibril memilih tetap bekerja di Malaysia. Dia mahir bercakap-cakap dalam bahasa Melayu. Bahkan jawaban-jawaban tertulis wawancara ini dia tulis dalam bahasa Indonesia bercampur Melayu.

Penelusuran TEMPO menemukan bahwa rumah pertama yang menampungnya di Malaysia milik seorang ulama yang cukup disegani di kawasan Kuala Pilah, Negeri Sembilan. Di sana, Iqbal mulai mencari nafkah dengan berdagang buku-buku agama di Johor Bahru. Sekitar 1987, dia dan istrinya mengontrak rumah di Kuala Lumpur, sebelum pindah lagi ke Sungai Manggis, Banting, Selangor. Pada 1998, keluarga Abu Jibril akhirnya mampu membeli rumah sendiri di Batu 18 1/4 Lot 873. Di sinilah istri dan sembilan orang anaknya tinggal.

Ketika TEMPO bertandang ke rumahnya dua bulan lalu, rumah itu tampak dalam keadaan terawat. Temboknya putih bersih, tanpa noda, dan diberi pagar kawat di sekelilingnya. Seperangkat sofa merah mengisi ruang tamu. Sejumlah perabot mengisi rumah bertegel putih itu: televisi 14 inci, meja dan kursi makan, serta lemari buku. Sebuah mobil van minibus…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…