Hak Masyarakat Adat Berhenti Di Konstitusi
Edisi: Edisi / Tanggal : 2020-06-13 / Halaman : / Rubrik : WAW / Penulis :
KASUS kekerasan terhadap masyarakat adat terus terjadi. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat ratusan anggota masyarakat adat menjadi korban kriminalisasi di pelbagai daerah. Sebagian besar dari mereka terkena pasal yang berkaitan dengan urusan lahan. Padahal mereka secara turun-temurun sudah tinggal dan hidup di wilayah yang kini sebagian telah dikuasai perusahaan atau bersalin rupa menjadi taman nasional. “Seperti tikus yang mati di lumbung padi,” kata Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi dalam wawancara khusus dengan Tempo, Senin, 8 Juni lalu.
Kekerasan terhadap masyarakat adat, Rukka mengungkapkan, terus berulang karena belum ada undang-undang yang khusus dibuat untuk melindungi hak konstitusional mereka. Kasus terbaru menimpa Bongku bin Jelodan, anggota suku Sakai di Bengkalis, Riau. Majelis hakim Pengadilan Negeri Bengkalis pada 18 Mei lalu menghukumnya satu tahun penjara karena membuka lahan untuk menanam ubi di tanah leluhurnya yang telah dikuasai korporasi. “Itu wilayah adat yang sudah diambil alih pemerintah dan diberikan konsesi kepada perusahaan tanpa mereka tahu,” ujar Rukka. Bongku dibebaskan pada Rabu, 10 Juni lalu, melalui asimilasi berdasarkan kebijakan pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19.
Belum selesai urusan hak-hak masyarakat adat, berbagai komunitas adat kini harus menghadapi pandemi Covid-19. Beruntung sebagian besar anggota AMAN, yang mencakup 2.372 komunitas adat dengan populasi 18-20 juta jiwa, tinggal di wilayah terpencil sehingga potensi tertular tak besar. Tapi dampak ekonomi pagebluk terus mengintai mereka.
Rukka menerima wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi, Budiarti Utami Putri, dan Nur Alfiyah, di kantornya di Kota Bogor, Jawa Barat. Perempuan asal Tana Toraja, Sulawesi Selatan, ini menceritakan konflik yang masih mendera masyarakat adat, urgensi disahkannya Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat, hingga cara masyarakat adat menghadapi wabah.
Ratusan anggota komunitas adat menjadi korban kriminalisasi akibat konflik dengan perusahaan. Mengapa hal ini terus terjadi?
Kriminalisasi hanyalah salah satu bentuk kekerasan yang terjadi karena sampai detik ini belum ada kepastian hukum bagi masyarakat adat. Kalau ditelusuri dari akarnya, ini persoalan struktural, persoalan kebijakan negara. Masyarakat adat diakui dalam konstitusi, yaitu Pasal 18-B ayat 2 dan Pasal 28-I ayat 3. Di situ dikatakan pengakuan terhadap masyarakat adat dan bahkan diakuinya hak asal-usul, hak kolektif masyarakat adat. Sayangnya, hak masyarakat adat masih berhenti di konstitusi. Belum ada undang-undang yang khusus dibuat untuk menjalankan hak konstitusional masyarakat adat. Tidak ada panduan holistik bagi pemerintah untuk mengadministrasi, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat.
Apa akibat dari belum adanya aturan khusus tentang masyarakat adat?
Lahirnya berbagai kebijakan yang digunakan untuk menargetkan wilayah adat. Semua wilayah adat dianggap kosong dan haknya diberikan kepada perusahaan dalam bentuk izin dan konsesi. Kalaupun ada undang-undang yang mengakui masyarakat adat, pengaturan dan pengakuannya parsial. Banyak undang-undang yang bertentangan dan tumpang-tindih. Arogansi sektoral antarkementerian membuat masyarakat adat diatur secara terpisah. Ibarat tinggal dalam satu rumah besar dengan banyak sekali kamar. Tapi kamar-kamar itu tidak berhubungan, jendela dan pintu keluar pun tidak ada. Jadi seperti terjebak dalam labirin.
Menurut konstitusi, hak apa saja sebenarnya yang dimiliki masyarakat adat?
Dua pasal tadi saling terkait. Yang satu bicara tentang masyarakat hukum adat, lainnya tentang hak tradisional masyarakat hukum adat. Dua pasal ini menyoal hak asal-usul masyarakat adat. Undang-Undang Dasar sejak awal mengakui keberadaan masyarakat adat beserta hak-haknya yang ada sebelum Indonesia merdeka. Di dalam hak asal-usul itulah ada hak kolektif, antara lain menentukan nasib sendiri, mengatur diri sendiri, serta menentukan prioritas pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya sendiri. Jadi…
Keywords: Jokowi, Susilo Bambang Yudhoyono | SBY, Sengketa Lahan, Covid-19, KLHK, Karantina wilayah, Masyarakat Adat, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…