Jika Takut, Jurnalis Tak Bisa Melakukan Investigasi

Edisi: Edisi / Tanggal : 2020-06-27 / Halaman : / Rubrik : WAW / Penulis :


SEJAK Presiden Filipina Rodrigo Roa Duterte berkuasa empat tahun silam, chief executive officer portal berita Rappler, Maria Ressa, tak bisa lagi hidup tenang. Teror silih berganti menimpanya, dari serangan di dunia maya hingga persekusi yang bisa berujung bui.
Pada Senin, 15 Juni lalu, Pengadilan Negeri Manila menyatakan Ressa dan bekas penulis Rappler, Reynaldo Santos Jr., bersalah dalam kasus pencemaran nama pengusaha Wilfredo Keng. Hakim Rainelda Estacio-Montesa memvonis keduanya dengan hukuman maksimum 6 tahun penjara. “Kasus ini adalah satu dari delapan tuntutan pidana yang saya hadapi,” kata Ressa, 56 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo melalui konferensi video, Senin, 22 Juni lalu.
Beberapa organisasi jurnalis internasional menilai kasus yang bermula dari tuntutan Keng atas tulisan Santos di Rappler pada Mei 2012 itu bermotif politik. Vonis bersalah terhadap Ressa dianggap sebagai upaya membungkam pers yang kritis terhadap rezim karena Ressa dan medianya lantang mengkritik kebijakan “perang narkotik” Duterte, yang telah menewaskan puluhan ribu orang akibat aksi pembunuhan ekstrayudisial oleh polisi. Majelis hakim bahkan mendakwa Ressa dan Santos melanggar undang-undang siber yang baru diberlakukan empat bulan setelah tulisan terbit.
Teror terhadap Ressa bermula dari serangan daring (online) yang menjadi agresif setelah Rappler, pada 2016, menerbitkan artikel yang mengungkap cara para pendukung Duterte memanipulasi Facebook untuk membangun dukungan dan menumpas lawan-lawannya. Ancaman makin parah setelah pemerintah mencoba mencabut izin operasi Rappler pada 2018 serta mempidanakan Ressa. “Tahun lalu saya ditangkap dua kali dalam lima pekan,” ujar Ressa.
Dari ruang kerjanya di Manila, Ressa berbincang dengan wartawan Tempo, Wahyu Dhyatmika, Mahardika Satria Hadi, dan Abdul Manan. Jurnalis yang pernah satu dekade bertugas di Jakarta itu menceritakan kasus yang menimpanya, upaya pemerintah Duterte membungkam para pengkritiknya, hingga ancaman terhadap jurnalis di Asia Tenggara.
Bagaimana duduk perkara kasus yang menjerat Anda?
Artikel yang dipersoalkan itu kami terbitkan pada 2012, beberapa bulan sebelum undang-undang siber diberlakukan. Celah itu menjadi kunci akrobat hukum untuk membawa kasus ini ke pengadilan. Untuk menghukum saya, hakim Rainelda Estacio-Montesa menyetujui periode pengaduan diperpanjang dari 1 tahun menjadi 12 tahun. Ini bisa berdampak pada setiap orang Filipina. Lalu seseorang di Rappler pada 2014 memperbaiki kesalahan ketik, mengoreksi kata “evasion” yang salah dieja menjadi “evation”. Hanya satu huruf dalam satu kata. Tapi, karena hal itu, saya dan mantan kolega saya, Ray, sekarang terancam masuk penjara hingga 6 tahun.
Sejauh mana kasus ini berpengaruh terhadap rutinitas Anda?
Kasus ini adalah satu dari delapan tuntutan pidana yang saya hadapi. Ada delapan surat perintah penangkapan untuk saya. Tahun lalu saya ditangkap dua kali dalam lima pekan. Saya ditahan semalam dan sempat dicegah membayar uang jaminan. Hak-hak saya telah dilanggar, hukum sedang dipersenjatai. Ini adalah penyalahgunaan kekuasaan.
Bagaimana Anda bisa dijerat banyak kasus pidana?
Pada Januari 2018, pemerintah mencoba mematikan kami dengan mencabut izin operasi Rappler. Itulah awalnya. Dalam waktu sekitar 14 bulan, mereka mengajukan 11 kasus dan penyelidikan. Sepanjang 2018, saya menghabiskan banyak waktu untuk menjalani pemeriksaan. Pada 2019, mereka mengeluarkan surat perintah penangkapan dan membawa kasusnya ke pengadilan. Ada saatnya saya berkali-kali mendatangi empat pengadilan dalam satu pekan. Saya menghabiskan 90 persen waktu saya di pengadilan.
Apa yang membedakan kasus ini dengan perkara-perkara lain?
Ada tiga kelompok kasus. Pertama, pencemaran nama di dunia maya. Ini kasus pertama dan membuat saya ditangkap. Kedua, penggelapan pajak. Enam bulan setelah memberi kami penghargaan sebagai perusahaan pembayar pajak teratas, pemerintah mengatakan kami mengemplang pajak. Dalam salah satu tuntutan disebutkan kami menghindari pajak karena kami perusahaan sekuritas. Kami jelas bukan pialang saham. Ketiga, saya menyebutnya kasus induk, yaitu pemerintah mencoba mencabut izin kami. Mereka mengatakan Rappler dimiliki pihak asing dan melakukan penipuan saham. Kami dituding melanggar Undang-Undang Anti-Dummy (peraturan yang berkaitan dengan penipuan sekuritas) dan mereka mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk semua anggota direksi Rappler pada 2018.



Keywords: FilipinaJokowiKriminalisasi PersJurnalis dan permasalahannyaKekerasan terhadap WartawanRodrigo DuterteMaria Ressa | Rappler
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…