Jejak Besar Anak Pasar

Edisi: Edisi / Tanggal : 2020-08-15 / Halaman : / Rubrik : OBI / Penulis :


SUATU sore di sebuah kafe di pinggir kanal Kota Leiden, Belanda, pada 2010. Kami berdua sama-sama memesan cokelat hangat dan croissant butter untuk menghalau hawa dingin yang beringsut menyapa kulit tropis kami ketika langit beranjak gelap. Kami berdua saja: aku dan Cornelis Lay, dosen senior di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang saat itu sedang menjadi peneliti tamu di KITLV Leiden.
Meski bekerja di kampus dan fakultas yang sama, kami jarang punya kesempatan berbincang panjang berdua saja seperti saat itu. Hari itu kebetulan aku punya kencan dengan supervisor proyek disertasiku, Profesor Henk Schulte Nordholt, yang juga Direktur Riset KITLV dan pemimpin proyek riset di mana Mas Cony atau CL—begitu Cornelis dipanggil di lingkungan dekatnya—terlibat sebagai salah seorang penelitinya.
Selain membahas isu akademik, kami lebih banyak mengobrol tentang topik yang selama ini jarang kami sentuh: gosip dan biografi. Ihwal gosip, meski seru, sayang, sebagian besar tak pantas ditulis di sini. Yang akan kutulis di sini adalah sekeping narasi biografis CL yang sebagian kemudian ditulisnya dalam artikel berjudul “Growing up in Kupang” (bersama Gerry van Klinken) yang diterbitkan dalam buku berjudul In Search of Middle Indonesia: Middle Classes in Provincial Towns (Brill, 2014).
CL kecil lahir dari keluarga miskin di Kota Kupang. Ia bertumbuh di Kampung Dendeng, sebuah perkampungan kelas bawah di jalan buntu menghadap bukit di pinggiran Kupang. Orang tuanya pedagang kecil di Pasar Kupang dan CL bertumbuh sebagai bocah pasar yang ditempa kehidupan pasar yang keras serta berwarna.
Jerat kemiskinan akut dicoba diurainya saat ia meninggalkan Kupang pada 1979 untuk kuliah di Yogyakarta berbekal uang koin hasil membobol celengan bambu milik ibunya. Di Yogya, ia ngenger di rumah pamannya, Drs Josef Riwu Kaho, dosen di Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM yang belakangan menjadi guru dan mentor akademiknya. Saat itulah untuk pertama kalinya CL mengenal “sarapan pagi”, yang tidak pernah dikenalnya di Kupang lantaran kemiskinan.
Untuk melepas ketergantungan ekonomi dari sang paman, CL mencari uang dari kecakapannya menulis artikel. Kecerdasannya terlihat dari…

Keywords: Universitas Gadjah Mada | UGMJokowi-JKPartai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)Obituari
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

M
Melukis itu Seperti Makan, Katanya
1994-04-23

Pelukis nashar yang "tiga non" itu meninggal pekan lalu. tampaknya sikap hidupnya merupakan akibat perjalanan…

P
Pemeran Segala Zaman
1994-04-23

Pemeran pembantu terbaik festival film indonesia 1982 itu meninggal, pekan lalu. ia contoh, seniman rakyat…

M
Mochtar Apin yang Selalu Mencari
1994-01-15

Ia mungkin perupa yang secara konsekuen menerapkan konsep modernisme, selalu mencari yang baru. karena itu,…