Covid-19 Telah Memicu Gegar Budaya

Edisi: Edisi / Tanggal : 2020-08-29 / Halaman : / Rubrik : WAW / Penulis :


EMIL Salim melihat Covid-19 bukan hanya sebagai penyakit. Ekonom dan tokoh lingkungan ini menilai pandemi yang dipicu infeksi virus SARS-CoV-2 itu telah membuat nyaris semua negara mengalami krisis multidimensi. Wabah tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan dan ekonomi. “Itu mempengaruhi masyarakat dan menyebabkan perubahan sosial,” kata Emil dalam wawancara khusus dengan Tempo, Senin, 24 Agustus lalu.
Menurut Emil, pembatasan interaksi sosial selama pandemi telah direspons secara berbeda antara masyarakat Indonesia dan orang Barat. Di Amerika Serikat dan Eropa, misalnya, pembatasan sosial tidak berimbas besar karena penduduk di sana menganut budaya patembayan. Sedangkan masyarakat Indonesia, yang tata sosialnya komunal, mengalami gegar budaya akibat pembatasan interaksi sosial. “Covid-19 juga mengguncang paguyuban dalam masyarakat kita,” ujarnya.
Di usianya yang menginjak 90 tahun, Emil masih terlihat segar. Selain mengajar di Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, ia aktif menjadi pembicara dalam berbagai acara seminar daring (online). Dengan suara lantang, menteri lingkungan pertama yang pernah menjadi bagian dari kabinet Orde Baru selama 22 tahun ini mengaku geregetan terhadap kebijakan energi yang tidak ramah lingkungan. Emil juga menyoroti perubahan iklim yang berdampak pada munculnya zoonosis. Selain itu, ia bersikap kritis terhadap sejumlah hal. Salah satunya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang menurut dia memperlemah KPK dan membawa Indonesia kembali ke zaman korupsi.
Emil menerima wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Abdul Manan, di kediamannya di Taman Patra, Kuningan, Jakarta Selatan. Di sebuah meja di sudut ruang tamu terpajang foto Emil muda dengan ekonom yang juga wakil presiden pertama, Mohammad Hatta, pada 1970-an. “Kalau mau jadi pemimpin, ikuti moralitasnya Hatta. He's my hero,” ucapnya. Selama lebih dari dua jam, Emil menceritakan tentang berbagai dampak pandemi, kritiknya terhadap kebijakan energi, hingga omnibus law.

Anda pernah menyebut pandemi Covid-19 sebagai alarm terganggunya ekosistem. Seberapa parah kerusakan ekosistem sehingga memunculkan wabah ini?
Dalam 50 tahun terakhir, populasi manusia tumbuh pesat, sehingga habitat sejumlah binatang menyempit. Potensi virus pada hewan pindah ke manusia makin besar. Itu sebabnya tikus jadi sumber penyakit pes, babi untuk flu babi, nyamuk untuk malaria, monyet untuk AIDS, dan kelelawar untuk Covid. Terjadi penularan akibat penyempitan ruang hidup karena manusia memasuki ekosistem hewan-hewan itu.
Faktor lainnya apa?
Faktor yang lebih dahsyat adalah perubahan iklim. Greenland dan Siberia mencair. Cilakanya, permafrost atau tanah yang tadinya beku juga mencair. Tanah ini menjadi terbuka. Di dalamnya ada bangkai binatang yang karena dingin es masih menyimpan virus dan kuman. Banyak ilmuwan khawatir akan tumbuh penyakit dari bangkai-bangkai yang selama ribuan tahun terbenam di permafrost itu. Perubahan iklim membuat orang-orang khawatir. Jangan sampai suhu bumi pada 2030 melewati ambang batas yang menimbulkan pencairan es.
Aktivitas manusia di penjuru dunia sempat terhenti karena pembatasan sosial pada masa awal pandemi. Bagaimana pengaruhnya terhadap perubahan iklim?
Cara hidup akibat Covid-19, lalu lintas berhenti, semuanya berhenti. CO2 turun. Langit biru tiba-tiba tampak di Eropa, Amerika, hingga Indonesia. Suhu udara menurun akibat seluruh aktivitas dan mobilitas manusia berhenti. Para ahli berkata, cara kita hidup sebelum pandemi telah menyebabkan perubahan iklim. Kemudian Covid-19 menghentikan itu semua dan terbukti langit biru tampak. Mungkinkah kita mempertahankan pola hidup yang tak lagi bergantung pada mobilitas manusia yang demikian tinggi? Gagasan ini sekarang sedang berkembang.
Sejauh mana pembatasan interaksi sosial bakal mempengaruhi pembangunan di Indonesia?
Pembatasan sosial berskala besar prinsipnya tetap jaga jarak, tidak boleh berkerumun, dan segala macam itu. Ada bedanya antara Indonesia dan Barat. Di Barat itu budaya masyarakatnya patembayan atau gesellschaft, istilahnya “kami”. Istilah “kita” tidak ada di dunia Barat. Keakuan lebih dominan. Kalau Indonesia paguyuban. Di dalam masyarakat Indonesia, antara Anda dan saya ada pertaliannya.
Apakah pengurangan…

Keywords: JokowiEmil SalimCovid-19
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…