Pendekatan Jokowi Di Papua Tidak Humanis
Edisi: Edisi / Tanggal : 2020-11-07 / Halaman : / Rubrik : WAW / Penulis :
PENEMBAKAN Pendeta Yeremia Zanambani di Kampung Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, 19 September lalu, mengingatkan Gustaf Rudolf Kawer pada dua peristiwa serupa di masa silam. Semasa duduk di sekolah dasar, Gustaf mendengar berita menghebohkan tentang kematian antropolog dan seniman kondang Papua, Arnold Clemens Ap, yang ditembak anggota Komando Pasukan Sandi Yudha—kini Komando Pasukan Khusus (Kopassus)—dan mayatnya dibuang ke laut pada 1984.
Tujuh belas tahun kemudian, tokoh adat Papua, Dortheys “Theys” Hiyo Eluay, juga tewas ditembak anggota Kopassus pada 10 November 2001. “Saya berpikir, ‘Oh, peristiwa-peristiwa ini rupanya tidak hilang juga’,” kata Gustaf, 44 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo melalui konferensi video dari Jayapura, Rabu, 4 November lalu.
Pengacara hak asasi manusia Papua ini mengatakan pengusutan dugaan tindak kekerasan aparat keamanan terhadap rakyat Papua sering tak tuntas meski dalam beberapa kasus ada indikasi pelanggaran HAM. Alih-alih menyeret para pelakunya ke pengadilan HAM, penyelesaian kasus-kasus tersebut sering mandek dan hanya berujung pada peradilan militer. Mengutip laporan Elsam Papua, Gustaf mengatakan jumlah pelanggaran HAM di Papua sejak wilayah ini bergabung dengan Indonesia mencapai 749 kasus. Tapi kasus yang sampai dibawa ke pengadilan HAM hanya pelanggaran HAM Abepura pada 7 Desember 2000. “Itu baru satu kasus, dan pelakunya sampai tingkat kasasi divonis bebas,” ujar Ketua Perkumpulan Pengacara HAM Papua ini.
Menurut Gustaf, ruang bagi rakyat Papua untuk mengekspresikan pendapat hanya ada di era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Setelah itu, keadaan kembali memburuk, termasuk di era Presiden Joko Widodo. Ia menilai Presiden Jokowi tak serius menangani Papua meski tercatat sebagai presiden yang paling rajin melawat ke Bumi Cenderawasih. Ini tampak dari pengusutan kasus penembakan Pendeta Yeremia Zanambani yang diselesaikan lewat jalur politik dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta Intan Jaya.
Kepada wartawan Tempo, Sapto Yunus, Mahardika Satria Hadi, dan Abdul Manan, Gustaf menceritakan pengalamannya menangani kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di tanah kelahirannya. Advokat penerima penghargaan Pro Bono Champions 2019 ini mengatakan eksploitasi sumber daya alam telah membuat orang Papua tersingkir dari kampungnya dan menjadi korban kekerasan aparat. Ia menilai ketidakseriusan pemerintah memperburuk keadaan di Papua.
Mengapa Anda menilai hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Intan Jaya tidak tegas dalam mengungkap penembakan Pendeta Yeremia Zanambani?
Penembakan-penembakan di Papua, termasuk terhadap Pendeta Zanambani, adalah perulangan. Hal itu sering terjadi sejak era integrasi Papua ke wilayah Indonesia. Pada 2001, kejadian yang sama menimpa Theys Eluay. Militer awalnya membantah bahwa mereka pelakunya. Tapi hasil investigasi teman-teman lembaga swadaya masyarakat mengarah pada institusi militer. Itu pun mereka (tentara) masih membantah. Kemudian hasil investigasi yang lebih detail mengarah ke Kopassus. Hasilnya dinyatakan tidak ada pelanggaran HAM, tapi lantas dibawa ke peradilan militer. Waktu itu kasusnya disidangkan di Surabaya. Sekarang cerita yang sama menimpa Pendeta Zanambani.
Apa yang belum diungkap dari investigasi TGPF Intan Jaya?
Hasil investigasi teman-teman di gereja mengatakan bahwa ini ada (peran) dari Tentara Nasional Indonesia. Kemudian hasil dari tim independen Koalisi HAM Papua juga mengarah ke TNI. Itu masih dibantah juga. Bahkan saat TGPF tidak menyatakan tegas apakah pelakunya TNI atau kelompok bersenjata, TNI tetap membantah. Terakhir dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ada hasil yang mengarah ke TNI dan diduga pelakunya Wakil Komandan Rayon Militer (Danramil) Hitadipa di Intan Jaya. Saya katakan ini menyedihkan karena terus terjadi. Tidak ada penyelesaian yang komprehensif atas kasus-kasus kekerasan terhadap masyarakat di Papua.
Kekerasan terhadap masyarakat Papua terus berulang. Apa akar masalahnya?
Kalau pemerintah jujur, ada persoalan yang paling prinsipiel, yaitu sumber daya alam. Eksploitasi sumber daya alam lebih banyak dilakukan dengan pendekatan militer yang kemudian menimbulkan pelanggaran HAM. Pengulangan itu sejak integrasi 1969, terus terjadi sampai saat ini. Di Intan Jaya kita tahu ada Blok Wabu. Ada rencana…
Keywords: Rasisme, Papua, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat | TNI AD, Pelanggaran HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia | Komnas HAM, Mahfud Md, Jokowi, Diskriminasi, Konflik di Papua, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…