Seni (sastra) Dalam Realitas Baru

Edisi: Edisi / Tanggal : 2021-01-09 / Halaman : / Rubrik : LAPSUS / Penulis :


PENGUJUNG Desember 2020, Teater Koma mementaskan lakon Cinta Semesta di Gedung Kesenian Jakarta. Pertunjukan yang merupakan bagian ketiga dari trilogi Gemintang karya N. Riantiarno ini berlangsung tanpa penonton. Para aktor Teater Koma berakting di “gedung kosong”. Gedung Kesenian Jakarta tak lagi beroperasi sejak awal Maret 2020—ketika pandemi menyerbu. Rekaman pentas di gedung kosong itu kemudian ditayangkan virtual lewat Loket Live dan GoPlay dengan berbayar pada 12 dan 13 Desember 2020.
Betapapun berakting tanpa kehadiran penonton langsung, yang bisa didengar interaksi tepukan tangan ataupun respons tertawa, para aktor Teater Koma tetap bersemangat. Panggung bahkan tetap disajikan canggih—ditata serupa pertunjukan Gemintang sebelumnya: penuh efek visual. Tak sedikit pun Teater Koma mengendur. Cinta Semesta mengisahkan percintaan seorang astronom dari observatorium Bosscha, Lembang, Bandung, bernama Arjuna dan alien bernama Sumbadra dari galaksi di ujung semesta. Panggung dipenuhi ilustrasi digital berupa panorama tata surya dan visual wahana antariksa. Untuk mendukung pertunjukan daring (online) selama 95 menit itu, Teater Koma sampai menggunakan sekitar 10 kamera agar rekaman pementasan bisa dinikmati penonton dengan nyaman via laptop ataupun telepon seluler.
Pembaca, seperti tahun lalu, pada awal Januari ini kami menengok perkembangan dunia seni, sastra, dan musik tahun sebelumnya. Kami memilih karya-karya yang inovatif dan menyegarkan. Selain awak redaksi Tempo, untuk penjurian seni, sastra, dan album musik pilihan Tempo 2020 ini, kami mengundang sastrawan Seno Gumira Ajidarma; pengamat sastra Zen Hae; dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Faruk; pengamat seni Bambang Bujono; pengamat musik David Tarigan; dan dosen Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta, Nyak Ina Raseuki. Berbeda dengan tahun sebelumnya, karena situasi pandemi, rangkaian proses penjurian pun digelar secara virtual.
Pandemi Covid-19 memang telah membatasi hampir semua lini kehidupan, termasuk dunia seni. Pada 2020, banyak agenda seni tertunda, bahkan batal. Dalam dunia seni pertunjukan, pada Januari-Februari masih terdapat pertunjukan semi-kolosal, seperti pementasan ulang Panembahan Reso karya W.S. Rendra yang dipentaskan di Ciputra Artpreneur, Jakarta Selatan,  dengan aktor utama Ine Febriyanti-Whani Darmawan. Namun, memasuki Maret, gedung-gedung yang selama ini dikenal sebagai tempat pertunjukan teater, tari, dan musik tutup. Semenjak itu, seniman mulai menyadari adanya kenyataan baru. Mau tak mau para seniman harus beradaptasi dengan situasi ini. Masa pagebluk menuntut mereka untuk beradaptasi dengan teknologi digital. Mulanya satu-dua kelompok teater atau tari mencoba melakukan eksperimen pertunjukan digital, tapi kemudian agenda seni pun marak digelar secara daring atau virtual. Kelompok teater besar, seperti Teater Garasi dan Teater Payung Hitam, ataupun pentas Butet Kartaredjasa bersama Happy Salma akhirnya memanfaatkan kemungkinan ruang digital ini. Memasuki September, bahkan banyak festival teater atau seni pertunjukan digelar secara virtual.
Upaya seniman beradaptasi dengan medium teknologi digital kemudian menjadi parameter baru yang kami tambahkan dalam menentukan pilihan karya seni 2020. Salah satu keuntungan menonton pertunjukan digital adalah rata-rata pertunjukan yang sudah berlangsung terekam di YouTube, sehingga bisa dilacak dan ditonton ulang. Kami melihat gagasan-gagasan baru yang mereka sampaikan di dunia digital. Seberapa jauh sejumlah gagasan dan wacana baru itu bisa ditampilkan secara artistik dalam format digital.
Selain pentas Teater Koma di atas, pertunjukan daring lain yang kami nilai menarik pada 2020 adalah pentas tari Kinjeng Tangis karya koreografer Fitri Setyaningsih. Pentas tarian itu digelar di kawasan hutan jati Panggang, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Cara kamera merekam para penari serta pohon-pohon jati dan daun-daun kering sangat intim. Kamera—yang kini mewakili mata penonton—merekam wajah, kaki, dan tangan para penari di hutan ranggas itu secara close-up, medium shot, sampai long shot. Semuanya dihadirkan dengan teknik editing yang padat tapi tak naratif. Tubuh para penari yang berinteraksi dengan tanah, pohon, ranting kering, angin, bunyi, dan apa pun di sekitar mereka seakan-akan bisa dihadirkan secara sugestif. Panorama visual hutan jati menjadi kekuatan utama pertunjukan ini.

Pementasan Cinta Semesta oleh Teater Koma secara daring, Desember 2020./Dok. Teater Koma
Kinjeng Tangis salah satu pertunjukan yang ditayangkan pada hari keempat rangkaian “Tribute to Suprapto Suryodarmo” dalam Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2020, yang digelar virtual pada 19-23 November 2020. Tarian ini direkam sebelumnya di hutan jati itu oleh sineas…

Keywords: Tokoh Seni Pilihan
Rp. 15.000

Foto Terkait


Artikel Majalah Text Lainnya

I
Ini Keringanan atau Deal yang Rasional?
1994-02-05

Setelah mou ditandatangani, penggubah lagu pop rinto harahap akan diakui kelihaiannya dalam bernegosiasi perkara utang-piutang.…

M
Modifikasi Sudah Tiga Kali
1994-02-05

Perundingan itu hanya antara bi dan pt star. george kapitan bahkan tidak memegang proposal rinto…

C
Cukup Sebulan buat Deposan
1994-02-05

Utang bank summa masih besar. tapi rinto harahap yakin itu bisa lunas dalam sebulan. dari…