Teror Putu Wijaya

Edisi: 01/47 / Tanggal : 2018-03-04 / Halaman : 42 / Rubrik : TER / Penulis : Shinta Maharani , ,


TUBUH seorang pengacara muda ditusuk. Ia dibebat bendera berwarna putih. Darah muncrat. Orang-orang menghujani badannya dengan batu. Seonggok mayat pemuda itu berbicara kepada pengacara tua yang juga ayahnya. "Aku putramu satu-satunya ini diculik, disiksa, dan baru dikembalikan sesudah jadi mayat," kata Taksu Wijaya. Lantunan biola menyayat mengiringi tangis sesenggukan Putu Wijaya. Taksu bersimpuh di kedua kaki ayahnya yang duduk di kursi roda. Ia berkali-kali meminta maaf kepada sang ayah.

"Harusnya aku mendengarkan apa yang dikatakan suster itu. Kau minta yang datang putramu buah hatimu. Bukan seorang pengacara muda yang ambisius, pongah, dan keblinger mengklaim dirinya realistis membela amanat penderitaan rakyat. Tetapi sebenarnya tak lebih dari sel-sel subversif yang telah ditemukan dengan begitu rinci, cerdas, dan sempurna di negeri ini oleh mereka yang tidak pernah menghendaki kita ada."

Taksu bermonolog selama sekitar satu jam dalam pertunjukan drama berjudul OH karya sutradara Putu Wijaya di Gedung Teater Arena Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, Rabu malam pekan lalu. Ibunda Taksu, Dewi Pramunawati, tampil memerankan seorang suster yang telaten menjaga pengacara sepuh, sakit, dan berselimut di atas kursi roda. Suster itu memberikan satu rangkaian bunga kepada pengacara gaek yang tergolek lemah.

Bersama anggota Teater…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

L
Logika Kartun sebagai Jembatan Komunikasi
1994-04-16

Mungkin teater kami merasa masalah dalam naskah jack hibberd ini asing bagi penonton indonesia, ditempuhlah…

P
Peluit dalam Gelap
1994-04-16

Penulis ionesco meninggal dua pekan lalu. orang yang anti kesewenang-wenangan kekuasaan, semangat yang menjiwai drama-dramanya.

S
Sebuah Hamlet yang Sederhana
1994-02-05

Untuk ketiga kalinya bengkel teater rendra menyuguhkan hamlet, yang menggelinding dengan para pemain yang pas-pasan,…