Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Agus Widjojo: Terorisme Itu Ranah Polisi

Edisi: 15/47 / Tanggal : 2018-06-10 / Halaman : 92 / Rubrik : WAW / Penulis : Reza Maulana, Angelina Anjar Sawitri,


Pada hari-hari seperti ini, Agus Widjojo menjadi anomali. Saat sebagian besar masyarakat Indonesia menyerukan agar tentara ikut melawan terorisme bersama polisi lewat revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional itu menolaknya. Tugas Tentara Nasional Indonesia, kata dia, adalah menjaga pertahanan nasional. "Sementara terorisme adalah ranah penegakan hukum," ujar Agus dalam wawancara khusus di kantornya, Senin pekan lalu.

Letnan jenderal purnawirawan ini mengatakan tentara dan polisi punya doktrin berbeda. Di lapangan, tentara berpegang pada prinsip membunuh atau dibunuh. Sedangkan polisi bertugas menangkap pelaku kejahatan dan memprosesnya sesuai dengan hukum. "Jadi, dalam operasi, mereka tidak bisa dijadikan satu," kata Agus, 70 tahun.

Toh, Agus sedikit bernapas lega saat Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Antiterorisme pada Jumat dua pekan lalu. Lewat undang-undang itu, peran tentara dalam penanganan terorisme dibatasi oleh keputusan presiden. Ada pula aturan agar Kepolisian Republik Indonesia bisa menahan seseorang yang diduga terlibat jaringan terorisme walau belum berulah. Mantan Kepala Staf Teritorial TNI ini menilai perluasan kewenangan tersebut mempersempit ruang gerak teroris.

Kepada wartawan Tempo Reza Maulana dan Angelina Anjar, Agus juga menyinggung ihwal reformasi TNI-yang konsepnya ia susun pada awal masa reformasi-yang cenderung stagnan. Menurut dia, tentara kembali tergoda berperan di luar fungsi pertahanan. "Karena otoritas sipil terlalu ngelendot kepada TNI," ujar putra pahlawan revolusi Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo itu.

Apa alasan Anda menolak pelibatan tentara dalam pemberantasan terorisme dalam revisi Undang-Undang Antiterorisme?

Saya melihat dari sisi tata kelola pemerintahan dan konstitusi. Amanat konstitusi kepada TNI dan Polri berbeda. Tapi kita masih terpaku pada kebiasaan masa lalu, di mana Polri merupakan bagian dari ABRI. Di era dwifungsi itu, ABRI mempunyai kewenangan yang melintasi batas kewenangan lembaga militer profesional dalam demokrasi, yakni pertahanan nasional. Dalam Undang-Undang TNI disebutkan presiden dapat mengerahkan tentara untuk menjalankan operasi militer selain perang, di antaranya memberantas terorisme. Kalau sudah ada aturannya, ya, dikembalikan ke aturannya.

Pelaku teror yang berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) tidak mengindikasikan gangguan pertahanan nasional?

Di mana letak pertahanan nasionalnya? ISIS tidak pernah menyerbu Indonesia dengan kekuatan militernya. Mereka itu jaringan. Tindakan mereka dilakukan di dalam negeri. Jadi, walau merupakan ancaman, terorisme adalah ranah penegakan hukum, ranah Polri. Ada hukum nasional yang dilanggar. Segala sesuatu tentang teror ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Apakah Lembaga Ketahanan Nasional dilibatkan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…