Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Hilmar Farid: Mata Rantai Terlemah Justru Di Pemerintah.

Edisi: 40/47 / Tanggal : 2018-12-02 / Halaman : 100 / Rubrik : WAW / Penulis : Sapto Yunus, Reza Maulana,


BEBERAPA pekan terakhir, kantor Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidik­an dan Kebudayaan Hilmar Farid dipenuhi timbunan dokumen. Judulnya seragam: “Po­kok Pikiran Kebudayaan Daerah”. Ada 275 ji­lid dengan ketebalan dari seratusan sampai seribu hala­man lebih. Kalau ditumpuk, tingginya hampir dua kali Hil­mar—yang menjulang 180 sentimeter.

Dokumen tersebut membuat Hilmar, 50 tahun, terce­nung. Isinya tradisi lisan, manuskrip, adat-istiadat, per­mainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradi­sional, teknologi tradisional, seni, bahasa, dan ritus—se­puluh obyek budaya—di 250 kabupaten/kota dan 25 pro­vinsi di Indonesia. Ini adalah kompilasi terbesar yang per­nah tercatat. “Selama ini kita baru mengenal puncak gu­nung es kebudayaan kita. Di bawahnya belum tahu sebe­rapa banyak,” kata Hilmar dalam wawancara khusus de­ngan wartawan Tempo, Sapto Yunus dan Reza Maulana, di ruang kerjanya, Rabu pekan lalu.

Ribuan lembar halaman itu menjadi modal penyeleng­garaan Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 di kantor Ke­menterian Pendidikan dan Kebudayaan yang akan ber­langsung pada 5-9 Desember mendatang. Diadakan se­jak 1918, kongres kesepuluh ini menjadi muktamar perda­na yang berlandaskan perundang-undangan khusus: Un­dang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan
Ke­budayaan.

Hasil konferensi akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo untuk dijadikan strategi kebudayaan Indonesia. “Kalau punya tata kelola bagus, Indonesia bisa menjadi su­perpower di bidang kebudayaan,” ujar pakar sejarah Uni­versitas Indonesia itu.

Apa yang membedakan Kongres Kebuda­yaan 2018 dengan sebelumnya?

Dalam sembilan kali kongres, selalu muncul pemikiran bagus. Dalam Kongres Kebudayaan 1991, misalnya, sastrawan Nirwan Dewanto mengangkat pemikiran postmodernism. Kongres berakhir dengan rekomendasi untuk pemerintah. Namun seberapa banyak rekomendasi diterjemah­kan dalam kebijakan, tidak ada.
Kebijak­an disusun dengan merujuk pada renca­na pembangunan jangka menengah, dan sebagainya. Jadi ada yang putus antara ru­musan-rumusan bagus yang dibikin peser­ta kongres dan kebijakan.

Saat itu kongres juga dibiayai pemerin­tah?

Ya. Mungkin ada satu atau dua butir pe­mikiran yang dikembangkan ke dalam program kegiatan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan. Misalnya kongres menyata­kan perlu menghidupkan seni tradisi di ka­langan anak muda. Direktorat Kesenian bi­kin Konser Karawitan Muda. Tapi itu ber­sifat ad hoc, semata dari kemampuan peja­bat dalam menerjemahkan, bukan suatu pola. Orangnya ganti, bisa juga kebijakan­nya ganti. Jadi harus ada kerangka kebijak­an yang jelas sebagai output kongres. Itu perbedaan paling mendasar dari Kongres Kebudayaan 2018. Dulu orang berbicara, berdiskusi, menghasilkan rekomendasi. Sekarang titik tolaknya adalah rekomen­dasi dari pokok pikiran kebudayaan dae­rah, PPKD. Diskusi dan perdebatan terjadi di kabupaten/kota, provinsi, plus bidang-bidang. Mereka datang ke kongres sudah dengan rekomendasi.

Contohnya seperti apa?

Legislasi. Undang-Undang Pemajuan Ke­budayaan sudah teraplikasi. Tapi provinsi dan kabupaten/kota belum memiliki per­aturan daerah. Rekomendasinya,
peme­rintah daerah segera membikin peraturan daerah pemajuan kebudayaan.

Mengapa hanya ada 250 pokok pikiran kebudayaan daerah dari total 514
kabupa­ten/kota?…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…