Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Yenti Garnasih: Kami Bukan Mencari Manusia Setengah Dewa

Edisi: 23/48 / Tanggal : 2019-08-04 / Halaman : 124 / Rubrik : WAW / Penulis : Reza Maulana, Rosseno Aji Nugroho,


KOMPOSISI panitia seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang ditunjuk Presiden Joko Widodo pada pertengahan Mei lalu mendapat kritik dari pegiat antikorupsi. Mereka menilai panitia seleksi diisi oleh orang-orang yang kelewat dekat dengan polisi. Aktivis antikorupsi pun meminta Presiden Jokowi merevisi panitia seleksi tersebut.

Panitia seleksi itu terdiri atas Yenti Garnasih (pengajar hukum pidana Universitas Trisakti), Indriyanto Seno Adji (mantan komisioner KPK dan guru besar Universitas Krisnadwipayana), Harkristuti Harkrisnowo (guru besar hukum pidana Universitas Indonesia), Mualimin Abdi (Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia), Marcus Priyo Gunarto (guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada), Hamdi Moeloek (guru besar psikologi Universitas Indonesia), Hendardi (pendiri Setara Institute, penasihat bidang hak asasi manusia Kepala Kepolisian RI), Diani Sadia Wati (anggota staf ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional), dan Al Araf (Direktur Imparsial, pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian).

Menanggapi kritik tersebut, ketua panitia seleksi Yenti Garnasih mengatakan panitia memilih ngebut bekerja untuk memenuhi tenggat menyerahkan sepuluh nama kandidat kepada Presiden Jokowi pada 2 September mendatang. Presiden lalu akan menyerahkan daftar nama itu ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan hingga terpilih lima pemimpin KPK periode 2019-2023. "Tanggung jawab kami ke Presiden," kata Yenti kepada Tempo.

Di sela kesibukan uji kompetensi, Yenti, 60 tahun, menerima wartawan Tempo, Reza Maulana dan Rosseno Aji Nugroho, di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Sekretariat Negara, Cilandak, Jakarta Selatan, Kamis, 18 Juli lalu. Pakar hukum pidana pencucian uang itu menjawab berbagai tudingan yang menyasar panitia seleksi, termasuk alasan panitia seleksi mendatangi kepolisian dan kejaksaan serta soal kedekatannya dengan kepolisian. "Bukan berarti saya mengikuti semua kemauan mereka," tutur Yenti, yang juga anggota panitia seleksi calon komisioner KPK 2015-2019. Sepanjang wawancara, sejumlah rekan menghampiri Yenti untuk berkonsultasi. Marcus P. Gunarto dan Hamdi Moeloek ikut menjawab pertanyaan Tempo.

Mengapa panitia seleksi menjemput bola ke kepolisian dan kejaksaan agar mereka mengirim kandidat?

Kami memang mendatangi kepolisian dan kejaksaan, tapi maksud utama bukan jemput bola. Kami mau minta bantuan tracking kandidat. Misalnya penelusuran surat keterangan catatan kepolisian. Kami tidak mau kecolongan ternyata ada komisioner yang punya catatan negatif. Kami punya pengalaman empat tahun lalu ketika seorang kandidat yang sudah sampai tahap wawancara tiba-tiba jadi tersangka kasus korupsi oleh Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI.

Permohonan pelacakan seperti ini juga disampaikan empat tahun lalu?

Ada juga. Sekarang, selain ke kepolisian dan kejaksaan, kami ke Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Badan Narkotika Nasional.

Saat bertemu dengan Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian dan Jaksa Agung M. Prasetyo, Juni lalu, panitia juga mengundang pejabat instansi itu agar mendaftar?

Kami memang melakukan kunjungan ke lembaga-lembaga itu sambil mengajak karena mereka berhak juga. Kami sebatas mengatakan, "Silakan, Pak, kalau mau mendaftar." Basa-basi begitu saja.

Bukankah itu sama dengan menjemput bola?

Ajakan ini berbeda dengan upaya jemput bola yang saya lakukan di Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia. Di lingkungan akademikus itu, saya memang aktif mengundang orang-orang yang menurut saya bagus. Maka wajar pada akhirnya dosen menjadi kategori yang paling tinggi, 67 orang dari 376 pelamar. Tapi saya tidak menjanjikan apa-apa. Kami hanya ingin memiliki pilihan yang kaya saat seleksi. Jangan sampai seleksi ini lebih banyak dimanfaatkan job seeker. Saya beberapa kali terlibat di panitia seleksi kerap mendapati para pencari kerja yang sama. Lu lagi, lu lagi.

Apa yang Kapolri sampaikan saat bertemu dengan panitia seleksi?

Beliau ingin ada wakil polisi di KPK. Kami tanya alasannya. Dia bilang, kalau ada polisi di KPK, bagus untuk sinergi dan mempermudah koordinasi. Dia menceritakan pengalaman petugas KPK digebuki karena masyarakat tidak tahu identitas mereka dan tidak ada koordinasi dengan polisi. Menurut kami, itu masuk akal.

Anda sependapat instansi penegak hukum seperti KPK semestinya diisi oleh polisi dan jaksa?

Kami bersandar pada Undang-Undang KPK, yang menyebutkan komisioner terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat. Penegak hukum termasuk unsur pemerintah. Menurut saya, kalau seorang penegak hukum memenuhi kriteria dan bisa masuk sebagai pemimpin KPK, tentu lebih bagus.

Alasannya?

Ini lembaga penegak hukum yang lawannya koruptor dengan sederet pengacara hebat. Proses mencari bukti, menangkap, menyita, dan lainnya butuh skill khusus.

Marcus Priyo Gunanto: Pasal 21 ayat 5 Undang-Undang KPK menyatakan pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum. Mereka menjalankan fungsi teknis yuridis sebagai penyidik dan penuntut umum. Bagaimana jadinya kalau pimpinan yang terpilih tidak punya pengetahuan teknis yuridis di kedua bidang itu?

Jadi, menurut panitia, pemimpin KPK sebaiknya dari polisi atau jaksa?

Kami tidak pernah mengatakan harus…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…