Mantan Ketua Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat, Bambang Darmono: Jangan Cuma Bikin yang Jakarta Mau

Edisi: 33/48 / Tanggal : 2019-10-13 / Halaman : 92 / Rubrik : WAW / Penulis : Reza Maulana, Aisha Shaidra,


PAPUA seperti tidak bisa pergi dari alam pikiran Bambang Darmono. Meski masa tugasnya sebagai Kepala Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) berakhir lima tahun lalu—sekaligus pembubaran badan itu—dia masih sering ke Timika dan Jayapura, menemani istrinya yang memberikan pelatihan pendidikan politik lewat Institute for Democracy, Security, and Strategic Studies.

Kabar seputar Bumi Cenderawasih pun tak putus menghampiri Bambang, 67 tahun. Pada 5 September lalu, jenderal purnawirawan bintang tiga itu mendapat pesan yang mengatasnamakan Purom Okiman Wenda, pemimpin Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Isinya meminta warga pendatang meninggalkan Papua. Jika tidak, mereka akan dieksekusi.

Bambang berkeyakinan, jika dia mendapat kabar itu, aparat keamanan pun seharusnya tahu dan mengantisipasi kemungkinan terburuk. Nahas, kerusuhan pecah di Wamena pada 23 September lalu, menewaskan 32 orang dan membuat sekitar 5.000 lainnya terusir dari rumah mereka di ibu kota Kabupaten Jayawijaya itu. “Kalau bukti itu ada tapi pemerintah tidak melakukan antisipasi, itu bentuk pengabaian,” kata Bambang dalam wawancara khusus dengan Tempo.

Bambang mengatakan akar masalah konflik Papua adalah soal status politik. Berdasarkan pengalamannya mendatangi dan berdialog dengan 200 suku di Papua, dia mendapati kebanyakan warga Papua merasa bukan bagian dari Indonesia. “Masalah rasisme itu hanya trigger,” ujarnya.

Selasa petang, 1 Oktober lalu, Bambang menerima wartawan Tempo, Reza Maulana dan Aisha Shaidra, di rumahnya di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Selama lebih dari tiga jam dia tak henti berbicara tentang Papua. Dia juga menyampaikan kekecewaannya terhadap pemerintah, baik era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Presiden Joko Widodo, yang ia anggap tidak serius menangani Papua.

Apa akar masalah konflik Papua?

Soal status politik. Itu yang selalu disampaikan setiap orang di Papua. Hal itu saya dapati sejak awal masuk ke Papua pada 2010 dan selalu menjadi isu keras di sana. Saya juga membaca buku beken yang ditulis Pendeta Socrates Sofyan Yoman yang memprovokasi masyarakat Papua dengan mengatakan Papua bukan bagian dari Indonesia, proses kooptasi Papua ke Indonesia sebagai pemaksaan dan bagian dari kepentingan Amerika Serikat. Jadi yang harus dijalankan lebih dulu adalah meluruskan sejarah.

Seperti apa sejarah integrasi Papua ke Indonesia?

Kalau membicarakan Papua, kita harus tahu soal ini. Menurut orang Papua, mereka sudah dimerdekakan oleh Belanda pada 1 Desember 1961. Lalu Bung Karno mengeluarkan Trikora pada 19 Desember 1961. Bagi orang Papua, ini menghantam kemerdekaan mereka. Berdasarkan Perjanjian New York 1962, Perserikatan Bangsa-Bangsa kemudian membentuk Otoritas Eksekutif Sementara (UNTEA), yang menerima penyerahan Irian Barat dari Belanda dan menyerahkannya ke Indonesia pada 1963. Hal itu diperkuat dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 2 Agustus 1969.

Banyak pihak menyangsikan hasil Pepera karena diambil…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…