Pegiat Hak Asasi Manusia, Veronica Koman: Saya Tidak Akan Melarikan Diri

Edisi: 39/48 / Tanggal : 2019-11-24 / Halaman : 100 / Rubrik : WAW / Penulis : Mahardika Satria Hadi, Aisha Shaidra,


STATUS buron di negeri orang tak membelenggu ruang gerak Veronica Koman. Pengacara dan aktivis hak asasi manusia yang lantang menyuarakan isu Papua itu masih leluasa beraktivitas di “pengasingannya” di Sydney, Australia. Ia bahkan sempat mengikuti aksi unjuk rasa warga Australia yang mengecam tewasnya Kumanjayi Walker, pemuda Aborigin yang ditembak polisi. “Ini kematian ketiga orang Aborigin di tangan polisi dalam dua bulan terakhir,” kata Veronica kepada Tempo, Rabu, 13 November lalu.

Veronica, yang merampungkan studi magister hukum di Australian National University pada Juli lalu, masih berada di Negeri Kanguru ketika, pada 4 September lalu, Kepolisian Daerah Jawa Timur menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian terkait dengan kerusuhan di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya. Ia dituding telah memprovokasi dan menyebarkan kabar bohong lewat akun media sosialnya.

Ia tak merasa terganggu namanya masuk daftar pencarian orang dan daftar merah Interpol sejak pertengahan September lalu. Bekas pengacara publik di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta ini justru merasa beruntung ketimbang rekannya, Paulus Surya Anta Ginting, yang ditahan polisi. Surya Anta dan lima aktivis Papua lain dijadikan tersangka kasus makar karena diduga mengibarkan bendera Bintang Kejora saat berdemonstrasi menuntut referendum di depan Istana Negara, Jakarta, 28 Agustus lalu.

Veronica, 31 tahun, merasa tidak enak lantaran teman-temannya tertangkap sementara ia masih bisa lolos dari kejaran aparat. Apalagi perempuan berdarah Tionghoa ini baru saja menerima Sir Ronald Wilson Human Rights Award dari Australian Council for International Development. “Sepanjang Agustus-September lalu banyak yang ditangkap dan sampai mati (di Papua). Saya di sini menerima penghargaan. Sebetulnya saya malu dan merasa bersalah,” ujarnya.

Kepada wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Aisha Shaidra, Veronica menceritakan motivasinya menyuarakan isu Papua, sikapnya tentang referendum, dan keinginannya kembali ke Tanah Air. Wawancara berlangsung dalam dua kali kesempatan melalui sambungan video konferensi dan telepon pada Senin dan Rabu, 11 dan 13 November lalu.

Apakah status buron mengganggu kegiatan Anda?

Sejak di Jakarta, saya memonitor Papua dari jarak jauh. Tidak jauh berbeda dengan sekarang, saat berada di Australia, monitoring dan bikin laporan. Bedanya, karena berada di luar negeri, saya tidak bisa melakukan pendampingan dan beracara di pengadilan.

Bagaimana Anda mengadvokasi isu Papua sementara posisi Anda terpaut ribuan kilometer?

Sepanjang kuliah S-2 di Australia, saya juga tetap melakukan advokasi. Kadang, ketika ada kasus, ada yang mengontak saya. Jadi ibaratnya seperti memberi pertolongan pertama versi hukum. Orang Papua menghubungi saya karena pembela HAM di Papua yang mengadvokasi sangat sedikit. Orang Papua sering mengontak saya karena mungkin saya sering online.

Siapa yang membantu Anda di lapangan?

Di Papua, pembela HAM baru ada di kota. Kami sama-sama mengadvokasi.

Contohnya?

Sebagian besar memverifikasi masalah versi orang Papua, kemudian menampilkan versi alternatif ini. Kadang saya membantu jurnalis dan menyambungkannya…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…