Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko: Nama Saya Ada Di Mana-mana

Edisi: 47/48 / Tanggal : 2020-01-19 / Halaman : 100 / Rubrik : WAW / Penulis : Wahyu Dhyatmika, Mahardika Satria Hadi, Aisha Shaidra.


INSIDEN masuknya kapal-kapal ikan dan penjaga pantai Cina ke perairan Natuna, Kepulauan Riau, sejak akhir Desember 2019 mengingatkan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko pada sejarah Kerajaan Sriwijaya berabad-abad silam. Dulu, ketika Sriwijaya sibuk memerangi Kerajaan Mataram Kuno di Pulau Jawa, kekuasaannya di Selat Malaka lepas ke tangan Tiongkok. "Belajar dari sejarah itu, kita tidak boleh lengah. Jangan kita sibuk dengan urusan dalam negeri sehingga kedaulatan terabaikan, apalagi Laut Natuna Utara begitu luas dan sering terjadi kekosongan," kata Moeldoko.

Berlayarnya puluhan kapal nelayan Cina yang dikawal pasukan penjaga pantai dan kapal fregat di wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia itu sempat memantik ketegangan antara Jakarta dan Beijing. Presiden Joko Widodo bahkan sampai kembali mendatangi Natuna. Ini kunjungan kedua Jokowi setelah ia menggelar rapat kabinet terbatas di atas kapal perang KRI Imam Bonjol di Laut Natuna Utara pada 23 Juni 2016. Kala itu rapat digelar beberapa saat setelah kapal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut menyergap kapal Cina di perairan kaya ikan serta cadangan minyak dan gas tersebut.

Moeldoko mengatakan kedatangan Presiden ke Natuna bertujuan meredam gejolak publik yang keburu emosional karena menganggap kapal-kapal Cina telah melanggar wilayah kedaulatan Indonesia. "Padahal nelayan (Cina) itu baru masuk wilayah hak berdaulat atau ZEE," kata Moeldoko, yang mendampingi Jokowi selama satu hari kunjungan ke Kabupaten Natuna pada Rabu, 8 Januari lalu.

Sejak kembali didapuk sebagai Kepala Staf Kepresidenan, 23 Oktober 2019, Moeldoko makin sibuk. Hampir setiap hari mantan Panglima TNI ini mendampingi Jokowi bersama Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Dengan tambahan wakil kepala dan dua anggota staf khusus, pria kelahiran Kediri, Jawa Timur, 62 tahun lalu ini memanggul tugas berat memastikan puluhan janji Presiden selama masa kampanye terwujud dalam lima tahun ke depan.

Moeldoko menerima wartawan Tempo Wahyu Dhyatmika, Mahardika Satria Hadi, Aisha Shaidra, dan Retno Sulistyawati di Kantor Staf Presiden di Bina Graha, kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat, 10 Januari lalu. Selama sekitar satu jam, ia membahas insiden di Natuna, tugas barunya yang bertambah, juga isu keterkaitan dirinya dengan mantan direktur PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang terbelit skandal.

Bagaimana pemerintah Indonesia menyikapi klaim pemerintah Cina di perairan Natuna?

Kita memiliki garis pantai sepanjang 81 ribu kilometer dengan batas laut teritorial sejauh 12 mil ditambah 200 mil baru landas kontinen. Maknanya, kita memiliki zona eksklusif yang luar biasa. Kita punya hak berdaulat untuk mengelola secara eksklusif berbagai sumber daya yang ada di sana, bukan cuma ikan, tapi juga minyak dan gas. Dalam konteks Natuna, Cina menginginkan ada Nine-Dash Line (wilayah Laut Cina Selatan yang diklaim Cina sebagai hak maritim historisnya) menurut versi dia. Kita tidak bersepakat soal itu. Indonesia menganut United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Sudah final, tidak bisa dinegosiasikan lagi. Dan semua negara yang mengikuti konvensi UNCLOS harus menyepakati itu, termasuk Cina.

Pernyataan Presiden bahwa kapal Cina baru masuk Zona…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…