Musikus Fajar Merah: Pelanggar Ham Adalah Orang Pengecut

Edisi: 49/48 / Tanggal : 2020-02-02 / Halaman : 92 / Rubrik : WAW / Penulis : Dinda Leo Listy, Aisha Shaidra,


DI studio musik Lokananta, Solo, Jawa Tengah, Fajar Merah kembali bercerita. Ia tak lagi berkisah lewat musikalisasi puisi-puisi ayahnya, Wiji Thukul, seperti dalam album pertamanya. Melalui album Nyanyian Sukma Lara, Fajar dan kelompok musiknya, Merah Bercerita, memutuskan untuk mendobrak zona nyaman dengan melepaskan diri dari bayang-bayang Wiji Thukul.

DI studio musik Lokananta, Solo, Jawa Tengah, Fajar Merah kembali bercerita. Ia tak lagi berkisah lewat musikalisasi puisi-puisi ayahnya, Wiji Thukul, seperti dalam album pertamanya. Melalui album Nyanyian Sukma Lara, Fajar dan grup musiknya, Merah Bercerita, memutuskan untuk mendobrak zona nyaman dengan melepaskan diri dari bayang-bayang Wiji Thukul. Menurut Fajar, album kedua ini adalah karya ideal dari band yang ia bentuk pada 2010 itu. “Secara kelas, topik, dan bahasa, aku tidak seperti Wiji Thukul. Dan aku tidak memaksa orang lain menganggap lagu-lagu yang kutulis sama bobotnya dengan tulisan Wiji Thukul,” kata Fajar dalam wawancara khusus dengan Tempo di Solo, Rabu, 22 Januari lalu.

Sepuluh tembang dalam album tersebut berkelindan membentuk kesatuan cerita. Lirik-liriknya tak terlalu sarat kritik sosial seperti dalam album pertama. Mereka mengambil posisi netral, tidak lagi mencoba menghakimi keadaan. Fajar, 24 tahun, merilis album kedua itu pada 17 Januari lalu, sehari setelah film Nyanyian Akar Rumput diputar serentak di 16 bioskop di Indonesia. Film dokumenter berdurasi hampir dua jam karya sutradara Yuda Kurniawan itu mengangkat kisah Fajar dan grup musiknya dalam melagukan puisi-puisi Wiji Thukul.

Berbeda dengan film fiksi Istirahatlah Kata-kata garapan sutradara Yosep Anggi Noen, yang lebih menyoroti kehidupan sang penyair dan aktivitasnya sebelum diduga diculik rezim Orde Baru pada 1998, Nyanyian Akar Rumput yang digarap selama empat tahun itu menempatkan Fajar sebagai tokoh utama. Adapun ibunya, Siti Dyah Sujirah atau akrab disapa Sipon, dan kakak sulungnya, Fitri Nganthi Wani, menjadi figur yang melengkapi kehidupan Fajar. Film ini meraih sejumlah penghargaan, yakni Piala Citra kategori film dokumenter panjang terbaik Festival Film Indonesia 2018; Netpac Award Jogja-Netpac Asian Film Festival 2018; Honorable Mentions Award kategori dokumenter Figueira Film Art 2019 di Figueira da Foz, Portugal; serta Film Dokumenter Panjang Terpilih pada Piala Maya 2019.

Kepada wartawan Tempo, Dinda Leo Listy, Fajar menceritakan lebih rinci soal penggarapan album barunya, alasan ia bersedia kisahnya diangkat ke dalam film, serta prosesnya menerima dan memaknai absennya sang ayah. “Para pelaku (pelanggaran hak asasi manusia) yang mungkin sampai sekarang masih ada, bagiku mereka termasuk golongan orang pengecut,” ujar pria berambut gondrong keriwil itu. Wawancara dilengkapi jawaban Fajar melalui pesan WhatsApp kepada wartawan Tempo, Aisha Shaidra.

Album Nyanyian Sukma Lara benar-benar lepas dari musikalisasi puisi Wiji Thukul. Apa yang mendasari Anda membuat keputusan itu?

Apa pun itu, selalu ada risiko baik dan buruk. Ibaratnya, kalau lagu-lagunya nanti ada yang mendengarkan, ya alhamdulillah; kalau tidak ada, ya enggak jadi masalah.…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…