Kami Bukan Tentara, Kami Ilmuwan

Edisi: Edisi / Tanggal : 2022-01-15 / Halaman : / Rubrik : WAW / Penulis :


TAUFIK Abdullah adalah peneliti generasi awal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ia menjadi peneliti sejak 1962 di Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI), organisasi pendahulu LIPI. Setelah lebih-kurang enam tahun menjadi peneliti, ia melanjutkan studi ke kampus tersohor Cornell University di Amerika Serikat.
MIPI akhirnya menjadi LIPI pada 1967. Pria Minang itu kemudian menjadi Direktur Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional (Leknas), satu dari dua lembaga baru LIPI. Lembaga lain adalah Lembaga Riset Kebudayaan Nasional.
Semuanya berubah setelah terjadi peristiwa politik pada 1978, saat mahasiswa meminta penguasa Orde Baru, Presiden Soeharto, turun. Gerakan itu berbuntut penangkapan para aktivis mahasiswa. Penyair W.S. Rendra datang ke rumahnya untuk memintanya memberikan solidaritas dan memprotes penangkapan itu. Taufik membubuhkan tanda tangan di surat tersebut. Sebagai pejabat LIPI, Taufik menyadari tindakannya berisiko, termasuk kemungkinan dipecat.
Apa yang dikhawatirkan Taufik menjadi kenyataan. Ia dipecat dari jabatannya. Kariernya pun kandas. Ia baru menjadi Ketua LIPI setelah Soeharto lengser saat masa reformasi 1998. “Saya tidak hanya pegawai, tapi juga ketua dari suatu lembaga keilmuan. Kalau saya tidak ikut, saya administrator saja,” katanya tentang sikapnya saat itu dalam wawancara dengan wartawan Tempo, Abdul Manan dan Dini Pramita, di Jakarta pada Rabu, 12 Januari lalu.
Taufik banyak menghasilkan karya tulis dan buku bertema sejarah. Itulah yang mengantarkannya meraih sejumlah penghargaan, seperti Fukuoka Asian Cultural Prize pada 1991 dan gelar doctor honoris causa dari Universitas Indonesia pada 2009. Setelah pensiun dari LIPI pada 2002, ia masih aktif dalam dunia keilmuan. Ia ikut mendirikan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial dan kini masih menjadi anggota.
Sebagai ilmuwan, ia juga mengikuti pergunjingan ramai saat ini, yaitu peleburan semua lembaga penelitian, termasuk LIPI, ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Menurut Taufik, tidak ada yang senang atas penggabungan itu. Ia juga menjelaskan iklim penelitian di masa Orde Baru, era reformasi, dan peleburan lembaga-lembaga penelitian tersebut.
Seperti apa kondisi LIPI di masa-masa awal?
Di zaman saya, juga terjadi perubahan. Dulu namanya masih MIPI. Di dalam MIPI ada dua lembaga, yaitu Lembaga Riset Kebudayaan Nasional, yang ketua pertamanya Widjojo Nitisastro, dan Lembaga Riset Kebudayaan Nasional yang diketuai The Kian Wie. Waktu itu, MIPI dipimpin para pemikir, yaitu Profesor Sarwono (Prawirohardjo). Sesuai dengan namanya, MIPI betul-betul seperti majelis. Ada dewan penasihat yang diketuai Wongsonegoro. Dewan itu berisi para pemikir dan orang terpelajar. Setelah menjadi LIPI, banyak pusat kajian, termasuk Kebun Raya Bogor dan pusat penelitian di Bandung, yang digabung ke dalam LIPI.
Bagaimana mereka dimasukkan ke LIPI?
Langsung saja karena itu lembaga milik pemerintah. Sebelum itu, rencananya sudah dibikin lebih dulu. Ada timnya.
Peneliti LIPI saat itu apakah berstatus pegawai negeri…

Keywords: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)Abdurrahman Wahid | Gus DurCornell UniversityEijkmanBadan Riset dan Inovasi Nasional | BRIN
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…