Polarisasi Masyarakat Tak Akan Sekeras Sebelumnya

Edisi: Edisi / Tanggal : 2022-05-21 / Halaman : / Rubrik : WAW / Penulis :


PEMILIHAN Umum 2024 akan menandai hal baru. Selain pemilihan presiden dan anggota legislatif, pemilihan kepala daerah dilakukan bersamaan di 33 provinsi dan 514 kabupaten/kota. Pemilihan serentak ini akan menjadi beban berat tidak hanya bagi penyelenggara pemilihan, seperti Komisi Pemilihan Umum atau KPU, tapi juga partai politik. Selain menyiapkan calon anggota legislatif di 2.593 daerah pemilihan, partai mencari lebih dari 500 calon kepala daerah.
Menurut Ketua KPU, Hasyim Asy'ari, saat ini lembaganya memasuki tahap pembahasan kebutuhan anggaran sekitar Rp 76 triliun serta masa kampanye dan pengadaan logistik. “Semoga Mei sudah beres untuk peraturan KPU tentang tahap,” katanya ketika diwawancarai wartawan Tempo, Abdul Manan, di kantornya pada Rabu, 13 Mei lalu.
Hasyim bukan orang baru dalam urusan pemilihan umum. Pada Pemilihan Umum 1999, ia menjadi Sekretaris Presidium Komite Independen Pemantau Pemilihan Umum di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Ia pernah menjadi anggota KPU Jawa Tengah sebelum menjadi anggota KPU pusat sejak 2016. Dalam wawancara sekitar satu setengah jam, pria kelahiran Pati, Jawa Tengah, ini menjelaskan tantangan yang dihadapi KPU dan soal potensi polarisasi di masyarakat.
Apa perbedaan Pemilihan Umum 2024 dengan pemilu sebelumnya?
Sejak Pemilihan Umum 2019 ada perubahan signifikan. Semua jenis pemilu jadi satu, pemilu serentak untuk memilih presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah provinsi, kabupaten, dan kota. Pemilu 2024 berbeda lagi karena pada tahun yang sama digelar pemilihan umum kepala daerah (pilkada) serentak secara nasional. Pilkada serentak, seingat saya, pertama kali diselenggarakan pada 2015, kemudian pada 2017, 2018, dan 2020. Keserentakan baru tercapai dalam pemungutan suara, tapi pelantikannya belum serentak.
Pemilu kan tujuannya membentuk pemerintahan di pusat dan daerah. Pemerintah adalah relasi antara eksekutif dan legislatif. Nah, pemilu untuk membentuk pemerintahan—dalam arti mengisi jabatan eksekutif dan legislatif—yang tercapai di tahun yang sama baru saat pemilihan presiden serta anggota DPR dan DPD sejak 2004, tapi pilkada belum bisa. Sebagai contoh, yang paling kelihatan adalah pilkada 2018 yang diikuti oleh daerah dengan pemilih besar, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pada pilkada 2018, konfigurasi untuk pencalonannya oleh partai politik (hasil Pemilu) 2014. Setahun kemudian sudah ada pemilihan anggota DPRD lagi. Kan, sangat mungkin konstelasi atau konfigurasi politik DPRD berubah. Kalau partai pendukung kepala daerah bertambah, ini akan jadi aman dan lebih stabil. Kalau defisit, ini kan berpotensi mengganggu stabilitas politik daerah.
Nah, ide itulah yang kemudian menjadikan pemilu bertujuan mengisi jabatan pemerintahan nasional (presiden serta anggota DPR dan DPD) dan kemudian jabatan pemerintah daerah (kepala daerah dan DPRD) dilakukan di tahun yang sama pada 2024. Jadi, saat mereka memulai masa jabatan, durasi lima tahunannya kemudian dilembagakan supaya dilakukan pada tahun yang sama. Dengan begitu, harapannya, pilkada 2024 nanti keserentakan bukan hanya pencoblosan, tapi juga pelantikannya.
Apa tujuan utama keserentakan itu?
Pemerintahan akan stabil, di antaranya, kalau menggunakan desain kepemiluan. Ada keserentakan pemilu…

Keywords: KPUPemilu 2024Pilkada Serentak 2024Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

K
Kusmayanto Kadiman: Keputusan PLTN Harus Tahun Ini
2007-09-30

Ada dua hal yang membuat menteri negara riset dan teknologi kusmayanto kadiman hari-hari ini bertambah…

B
Bebaskan Tata Niaga Mobil
1991-12-28

Wawancara tempo dengan herman z. latief tentang kelesuan pasar mobil tahun 1991, prospek penjualan tahun…

K
Kunci Pokok: Konsep Pembinaan yang Jelas
1991-12-28

Wawancara tempo dengan m.f. siregar tentang hasil evaluasi sea games manila, dana dan konsep pembinaan…