Pandemi Senyap Resistansi Antimikroba

Edisi: 30 Okt / Tanggal : 2022-10-30 / Halaman : / Rubrik : LIN / Penulis :


ALARM tanda bahaya telah dinyalakan oleh Kementerian Kesehatan bersama Badan Kesehatan Dunia (WHO) serta Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Dalam pengarahan media di Jakarta, Rabu, 12 Oktober lalu, ketiga institusi itu menyatakan ada potensi pandemi baru berupa resistansi antimikroba (AMR). Resistansi antimikroba bahkan disebut-sebut sebagai “pandemi senyap”.
Menurut WHO, Indonesia berada di daftar lima negara dengan perkiraan peningkatan persentase konsumsi antimikroba tertinggi pada 2030. WHO juga mendeklarasikan AMR sebagai salah satu ancaman kesehatan terbesar yang dihadapi masyarakat global. Jika AMR tak segera dikendalikan dengan baik, dampak kerugian ekonomi global pada 2050 diperkirakan mencapai US$ 100 triliun.
Antimikroba digunakan secara luas dalam penanganan dan pengobatan penyakit infeksi pada manusia, hewan, serta tumbuhan. Antimikroba adalah zat atau agen yang dapat membunuh atau menghentikan pertumbuhan mikroorganisme. Yang digolongkan dalam kategori ini adalah obat-obatan antibiotik, antifungi, antiviral, dan antiparasit. Sementara itu, resistansi antimikroba adalah kondisi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit menjadi kebal terhadap antimikroba yang diberikan.
Ketua Komite Pengendalian Resistansi Antimikroba Kementerian Kesehatan Anis Karuniawati mengatakan, meski data terbatas, terlihat jelas peningkatan masalah AMR atau resistansi antimikroba di Indonesia. "Banyak antibiotik diberikan tanpa tahu persis penyebab penyakitnya," katanya. Akibatnya, terjadi resistansi antimikroba yang membuat infeksi sulit ditangani, meningkatkan risiko penyebaran penyakit, dan memperparah penyakit hingga berujung kematian.
Anis mengatakan setiap tahun terjadi peningkatan prevalensi bakteri penyebab infeksi berat seperti radang paru-paru dan sepsis yang kebal atau resistan terhadap antibiotik. Pada 2019, menurut dia, prevalensi dua jenis bakteri yang resistan terhadap cephalosporin generasi ketiga telah mencapai lebih dari 60 persen. Cephalosporin generasi ketiga adalah kelompok antibiotik yang digunakan untuk mengobati penyakit akibat infeksi bakteri dengan cara menghancurkan dinding sel bakteri.
Hidayati Mas’ud, yang mewakili Direktur Pengelolaan dan Pelayanan Kefarmasian Kementerian Kesehatan, mengatakan mutu pelayanan kesehatan dapat turun dan menyebabkan biaya kesehatan yang dikeluarkan pasien makin tinggi karena penyakitnya tak lagi mempan ditangani dengan antibiotik. "Dikhawatirkan akan tiba kondisi seperti zaman sebelum ditemukan antibiotik ketika penyakit infeksi bermunculan," ucap Hidayati.
Dia mengibaratkan AMR dengan air pasang laut yang makin lama makin naik. "Berbeda dengan Covid-19 yang seperti tsunami, tiba-tiba muncul dan menimbulkan banyak korban," tuturnya. Meski perkembangan AMR terkesan senyap, Hidayati menambahkan, jumlah kematian akibat masalah ini terus melonjak. Selain itu, AMR berpotensi membebani keuangan negara dalam pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono dalam forum Health Working Group Ke-3 dalam kerangka Presidensi G20 di Bali pada 24 Agustus lalu mengatakan sekitar 1,2 juta orang meninggal akibat resistansi antibiotik. Dante menjelaskan, AMR terjadi akibat ketidakpatuhan pada protokol pengobatan…

Keywords: AntibiotikResistensi AntimikrobaLimbah AntibiotikKomite Pengendalian Resistensi AntimikrobaPencemaran PerairanAntimikroba
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

I
Indorayon Ditangani oleh Labat Anderson
1994-05-14

Berkali-kali lolos dari tuntutan lsm dan protes massa, inti indorayon kini terjerat perintah audit lingkungan…

B
Bah di Silaut dan Tanahjawa
1994-05-14

Dua sungai meluap karena timbunan ranting dan gelondongan kayu. pejabat menuding penduduk dan penduduk menyalahkan…

D
Daftar Dosa Tahun 1993
1994-04-16

Skephi membuat daftar hutan dan lingkungan hidup yang mengalami pencemaran berat di indonesia. mulai dari…