Cok Sawitri: Totalitas Dan Integritas Di Jalan Sastra
Edisi: 21 Apr / Tanggal : 2024-04-21 / Halaman : / Rubrik : OBI / Penulis :
MATAHARI makin tenggelam ketika api disulut pada tempat pembakaran jenazah di Krematorium Sagraha Mandrakantha Santhi, Desa Bebalang, Bangli, Jumat, 5 April 2024. Di senja kala itu, sastrawan, dramawan, sekaligus aktivis perempuan dan kemanusiaan Cok Sawitri sedang dikremasi dalam bingkai ritual makingsan di gni. Cok Sawitri berpulang di kediamannya di Jalan Tukad Batanghari, Renon, Denpasar, sehari sebelumnya, Kamis, 4 April 2024. Sebagian besar kerabat dan sahabat yang turut mengantar kepergiannya hanya bisa terpaku bisu menatap kobaran api yang makin besar melahap jasadnya. Mereka masih tak percaya Cok Sawitri berangkat demikian cepat. Baru sebulan lalu dia melepas kepergian ibunda tercintanya yang sebelumnya lama sakit. Dia merawat sang ibu yang mengidap demensia akut dengan penuh kesediaan dan kesetiaan.
“Bu, anakmu kembali lagi. Tapi tak sama seperti dahulu lagi.” Itu status terakhir Cok Sawitri di Facebook dua hari sebelum berpulang. Tak ada yang menduga hal itu sebagai pertanda dia bakal menyusul sang ibu. Semenjak kepergian ibunya, dia menyibukkan diri dengan sejumlah aktivitas kesenian. Yang teranyar, dia turut mendukung pertunjukan seni bertajuk Gambuh Masutasoma garapan Ida Ayu Wayan Arya Satyani, yang biasa dipanggil Dayu Ani. Sehari sebelum meninggal, Cok Sawitri masih ikut berlatih di Budakeling. Pertunjukan yang digarap dalam rangka ujian tertutup di Program Studi Seni Program Doktor Institut Seni Indonesia Denpasar itu akhirnya digelar di Desa Adistana Budakeling, Bebandem, Karangasem, Bali, Sabtu, 6 April 2024, tanpa keterlibatan Cok Sawitri.
Cok Sawitri, yang memiliki nama lengkap Cokorda Istri Ngurah Raka Sawitri, adalah salah satu perempuan pengarang dari Bali yang berhasil merengkuh reputasi nasional. Pengarang yang lahir di Karangasem, 1 September 1968, ini mulai dikenal jagat sastra Indonesia setelah cerita pendeknya, “Rahim”, masuk buku Cerpen Pilihan Kompas 2001, yang disusul “Mati Sunyi” yang menjadi salah satu judul dalam Cerpen Pilihan Kompas 2004. Namanya makin melambung ketika novel pertamanya, Janda dari Jirah (Gramedia, 2007), masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2007. Empat tahun kemudian, novel ketiganya, Tantri Perempuan yang Bercerita (Buku Kompas, 2011), masuk nominasi KLA 2011. Selain…
Keywords: Sastra, seniman, Bali, Sastrawan, Cok Sawitri, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Melukis itu Seperti Makan, Katanya
1994-04-23Pelukis nashar yang "tiga non" itu meninggal pekan lalu. tampaknya sikap hidupnya merupakan akibat perjalanan…
Pemeran Segala Zaman
1994-04-23Pemeran pembantu terbaik festival film indonesia 1982 itu meninggal, pekan lalu. ia contoh, seniman rakyat…
Mochtar Apin yang Selalu Mencari
1994-01-15Ia mungkin perupa yang secara konsekuen menerapkan konsep modernisme, selalu mencari yang baru. karena itu,…