Wiranto: Tidak Ada Siasat-siasatan
Edisi: 35/35 / Tanggal : 2006-10-29 / Halaman : 20 / Rubrik : NAS / Penulis : Dhyatmika, Wahyu, ,
AKHIRNYA, Jenderal TNI (Purn.) Wiranto bicara. Inilah tokoh yang paling sering disebut-sebut dalam kontroversi isu kudeta yang meletup setelah buku karya mantan presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-detik yang Menentukan, dirilis sebulan yang lalu. Dialah figur kunci yang memainkan peran penting dalam masa-masa kritis Republik, Mei 1998. Sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, pilihan politik yang diambil Wiranto ketika itu amat berpengaruh atas hitam-putih sejarah negeri ini. Kekuasaannya makin menjulang dengan Surat Instruksi Presiden Nomor 16
AKHIRNYA, Jenderal TNI (Purn.) Wiranto bicara. Inilah tokoh yang paling sering disebut-sebut dalam kontroversi isu kudeta yang meletup setelah buku karya mantan presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-detik yang Menentukan, dirilis sebulan yang lalu. Dialah figur kunci yang memainkan peran penting dalam masa-masa kritis Republik, Mei 1998.
Sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, pilihan politik yang diambil Wiranto ketika itu amat berpengaruh atas hitam-putih sejarah negeri ini. Kekuasaannya makin menjulang dengan Surat Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 1998 yang diberikan Soeharto semalam sebelum lengser. Surat itu praktis memberi Wiranto mandat untuk melakukan apa saja guna mengamankan negara.
Tidak mudah bagi Wiranto, lulusan Akademi Militer Nasional, Magelang, angkatan 1968, untuk sampai pada keputusan bicara. Sang Jenderal berulang kali menolak permintaan majalah ini untuk diwawancarai secara khusus. "Saya sudah jelaskan semua dalam buku saya," katanya. Buku Wiranto, Bersaksi di Tengah Badai, terbit tiga tahun lalu. Namun, pusaran kontroversi yang kian menyudutkan akhir-akhir ini menyisakan hanya dua pilihan: bicara kepada media atau berkeras menutup mulut. Wiranto memilih yang pertama.
Jumat pekan lalu, Wiranto menerima wartawan Tempo, Wahyu Dhyatmika, di kantor lembaga riset yang dia dirikan, Institute for Democracy of Indonesia, Jalan Kotabumi, Jakarta Pusat. Selama setengah jam, secara off the record, Wiranto menjelaskan posisinya dalam kontroversi kudeta Mei 1998. Ketika menguraikan sejumlah poin yang sensitif, suara pria yang masih tetap tampak bugar di usia 59 tahun ini, sedikit meninggi, meski tak sampai kehilangan kendali atas emosinya.
Di akhir pertemuan, Wiranto menyodorkan empat lembar penjelasan yang diketiknya sendiri mengenai apa yang terjadi seputar mundurnya Soeharto dan peran militer dalam pergantian rezim kala itu. Malam harinya, Wiranto menjawab sejumlah pertanyaan susulan Tempo via telepon.
Berikut ini petikannya:
Mengapa Anda memilih diam dalam soal kontroversi buku mantan presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-detik yang Menentukan?
Ini kan bulan Ramadan. Orang lagi puasa, prihatin, kontemplasi, saling memaafkan. Tidak elok kalau kita justru saling menyalahkan, saling tuduh secara terbuka di muka umum untuk peristiwa delapan tahun lalu.
Bukankah publik menantikan kebenaran sejarah, di mana Anda bisa ikut memberi klarifikasi?
Kebenaran itu relatif, tidak harus selalu sama. Sehabis makan kue yang sama, komentar tiap orang bisa berbeda. Apalagi ini (peristiwa seputar pengunduran diri Presiden Soeharto-Red.) sangat kompleks.
Proses mundurnya Presiden Soeharto diawali kerusuhan Mei 1998. Kami mendapat informasi militer ikut bermain.?
Tuduhan itu benar-benar tidak rasional. Militer yang mana? Saya pimpinan militer saat itu dan saya pastikan tidak ada skenario seperti itu. Tidak masuk akal merancang sesuatu yang bertentangan dengan Saptamarga dan sumpah prajurit. Dan lagi, militer tidak mendapatkan keuntungan sama sekali dari peristiwa itu (Kerusuhan Mei 1998-Red.)
Bagaimana posisi ABRI dalam menghadapi tuntutan rakyat agar Presiden Soeharto lengser?
Sejak awal, ABRI setuju dengan reformasi selama itu dilaksanakan secara konstitusional, konseptual, dan gradual. Dalam pendapat akhir yang saya sampaikan dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Maret 1998, saya sudah menyampaikan bahwa, mau atau tidak mau, reformasi harus dilaksanakan. Pada 10 Mei 1998, saya mulai menyusun konsep reformasi nasional dan juga mengusulkan pembentukan Komite Reformasi kepada Presiden Soeharto. Komite itu saya usulkan terdiri dari pemerintah dan tokoh di luar pemerintahan.
Bagaimana sikap Anda sendiri selaku Menteri Pertahanan dan Keamanan serta Panglima ABRI?
Saat itu saya terus-menerus melakukan langkah-langkah guna mengawal perubahan itu pada kerangka konstitusional, gradual, dan konseptual dengan mengedepankan cara-cara kompromis-dialogis. Jadi, tidak ada siasat-siasatan untuk kepentingan pribadi maupun ABRI, seperti judul cover majalah Tempo (Tempo edisi 9-15 Oktober 2006 berjudul "Siasat Wiranto, di balik mundurnya Soeharto"-Red.)
Tempo mendapat informasi Anda memerintahkan Kepala Staf Umum ABRI, Letnan Jenderal Fachrul Razi, mencegah masuknya pasukan Kostrad dari luar Jakarta pada saat kerusuhan Mei 1998. Bagaimana menurut Anda?
Menhankam Pangab…
Keywords: 21 Mei 1998, Soeharto mundur, Peristiwa 1998, Wiranto, Habibie, Prabowo, Yusril Izra Mahendra, 
Artikel Majalah Text Lainnya
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?