'Hattanomics' Setelah Setengah Abad

Edisi: 24/30 / Tanggal : 2001-08-19 / Halaman : 74 / Rubrik : IQR / Penulis : Irawanto, Dwi Setyo , ,


KEMARAU panjang 1963, ketika jutaan petani di Jawa gagal panen padi, Presiden Sukarno menerima surat dari seorang pensiunan. Kepada "Paduka Yang Mulia", pensiunan ini—ia bekas pejabat tinggi negara—mengeluhkan beban hidup rakyat yang makin berat, jurang kaya-miskin yang belum pernah terjadi, dan munculnya elite kapitalis baru yang tak tahu diri. Sebagai penutup, pengirim layang itu juga membeberkan hidupnya yang kapiran: tiga perempat uang pensiunnya habis untuk membayar tagihan listrik.

Paceklik sedang mencekik seluruh negeri. Kesulitan hidup sudah menjadi penganan sehari-hari. Di tengah kegetiran seperti itu, mestinya tak ada yang istimewa dari keluhan tersebut, kecuali satu hal: surat itu datang dari sebuah rumah di Jalan Diponegoro, kawasan paling mentereng di Jakarta, dari seorang bernama Mohammad Hatta, pen-siunan wakil presiden dan Perdana Menteri Republik Indonesia.

Tak lama setelah mundur dari pemerintahan, 1957, Hatta mulai merasakan sulitnya hidup orang biasa. Ia bukan cuma keteter membayar tagihan listrik, gas, dan air minum, juga tak mampu melunasi pajak mobil yang dibelinya dengan subsidi pemerintah. Hatta bahkan tak sanggup mengangsur tagihan jaminan telepon untuk vilanya di Megamendung karena jumlahnya berkali lipat dari uang pensiunnya. "Terserahlah kalau (telepon) mau dicabut," kata Hatta melalui surat kepada Dirjen Pos, Telegraf, dan Telepon.

Sebagai pensiunan, Hatta menerima "sumbangan lauk-pauk" Rp 1.000 sebulan. "Apakah ini bukan suatu penghinaan kepada RI?" katanya kepada Menteri Urusan Anggaran Negara, "Makanan kucing saya saja tidak akan kurang dari sebegitu sebulan."

Bagi Hatta, tak ada perkara lain yang menjadi biang kesulitan hidup kecuali kegagalan pemerintahan Sukarno menjalankan paham sosialisme. "Kita selalu berkaok-kaok tentang sosialisme," katanya kepada seorang menteri di awal tahun 1960-an, "tapi tindakan pemerintah kebalikan dari itu." Harga bensin, misalnya, dinaikkan sekaligus 62 kali lipat, tarif gas dan listrik melambung 20 kali, serta harga beras melompat-lompat tak terbeli. Bagi Hatta, cita-cita sosialisme bisa dirumuskan dengan sederhana: bagaimana memurahkan ongkos hidup rakyat.

Sebagai cita-cita, sosialisme seperti yang diimpikan Hatta agaknya tak bakal mati. Hari-hari ini, ketika beban rakyat jelata kembali meruncing hingga ke batas leher, harapan untuk hidup bersama yang "adil dan makmur" bertiup kembali seperti bisikan yang sayup-sayup. Celakanya, liberalisasi pasar sudah telanjur merangsek ke seluruh sendi perekonomian. Selain itu, godaan untuk mengutamakan kepentingan golongan telah menyurutkan semangat kebersamaan. Akibatnya, cita-cita "memurahkan ongkos hidup" kehilangan daya ikhtiarnya. Mimpi sosialisme Hatta akhirnya tergelincir menjadi jargon yang kosong.

Di zaman ketika modal menaklukkan penghargaan terhadap…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

D
Dan Sang Guru Berkata...
2004-04-18

Novel filsafat sophie's world menjadi sebuah jendela bagi dunia untuk melihat dunia imajinasi dan edukasi…

E
Enigma dalam Keluarga Glass
2010-04-11

Sesungguhnya, rangkaian cerita tentang keluarga glass adalah karya j.d. salinger yang paling superior.

T
Tapol 007: Cerita tentang Seorang Kawan
2006-05-14

Pramoedya ananta toer pergi di usia 81 tahun. kita sering mendengar hidupnya yang seperti epos.…