CIA di Indonesia: Runtuhnya Sebuah Mimpi

Edisi: 38/29 / Tanggal : 2000-11-26 / Halaman : 66 / Rubrik : IQR / Penulis : Fadjri, R. , Arjanto, Dwi , Prabandari


Bagai sebuah film James Bond, buku Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia, 1957-1958 karya Kenneth Conboy dan James Morrison mengungkap keterlibatan CIA dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Ikuti wawancara dengan para anggota Dewan Perjuangan PRRI yang masih tersisa tentang pengakuan mendapatkan senjata dari CIA.

SELAT Malaka, suatu malam, 1958. Sebuah kilatan cahaya membelah malam yang pekat. Di atas speedboat, di perairan pelabuhan Bengkalis, Riau, Kolonel Simbolon dan Letnan Kolonel Sjoeib menatap kiriman kilatan cahaya yang menerobos pekatnya malam itu. Cahaya itulah yang ditunggu dengan harap cemas untuk memandu kedua perwira PRRI itu ke tempat rendezvous, sebuah kapal Norwegia, Douglas. Dengan muatan lembaran karet, Douglas berlayar langsung menuju Singapura.

Setelah sejenak menanti di Hotel Glen Eagles, Singapura, Sjoeib menerima telepon. Kata sandi pun mengaung di telinga Sjoeib: "Bagaimana dengan secangkir kopi?" Sebuah undangan pertemuan rahasia di sebuah apartemen. Kedua perwira itu berangkat ke sasaran. Ketika pintu diketuk, muncul Kepala Markas CIA di Singapura, James Foster Collins.

Apa gerangan yang terjadi? Itu semua bisa kita dapatkan dari buku Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia, 1957-1958 karya duo Kenneth Conboy dan James Morrison.

Inilah buku yang-dengan campuran gaya jurnalistik dan novel detektif penuh ketegangan-menggambarkan keterlibatan CIA dalam episode singkat perjuangan PRRI/Permesta. Kedua penulis ini memaparkan secara detail serangkaian pertemuan rahasia antara perwira PRRI dan agen CIA di Singapura dan Manila, operasi pengiriman senjata, hingga tugas pengeboman pilot Amerika Allan Pope di Indonesia Timur.

Di pengujung 1950-an, Indonesia memang tengah melalui sebuah episode pergolakan politik yang melibatkan Central Intelligence Agency (CIA), badan intelijen Amerika Serikat, secara aktif. Gerakan ini dipimpin oleh sejumlah perwira penguasa militer di daerah, yang menggugat sentralisasi kekuasaan pemerintah Jakarta di bawah Presiden Sukarno. Dan pada saat yang sama, sang Pemimpin Besar Revolusi tengah bermesraan dengan gerakan politik kiri yang semakin menguat.

Maka, sebuah gagasan desentralisasi yang lebih riil ketimbang basa-basi pemerintah pusat Jakarta tiba-tiba meletup menjadi gerakan bersenjata di Sumatra Tengah dan Sulawesi Utara. Upaya itu semula hanya diniatkan sekadar menggertak untuk memperoleh konsesi lebih besar mengatur daerah sendiri, tapi kemudian terseret ke dalam peristiwa yang lebih jauh.

Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), yang dideklarasikan di Padang pada 15 Februari 1958, dan sebelumnya Perjuangan Semesta Alam (Permesta), yang dideklarasikan lewat Piagam Perjuangan Semesta pada 2 Maret 1957 di Makassar, menjadi kepalan tinju yang menohok ilusi konsep negara kesatuan yang kaku: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ini kemudian menjadi sebuah ironi karena kini, tahun 2000, keinginan itu, dalam kadar yang berbeda, tengah muncul kembali di Riau dan Sulawesi Selatan dengan tuntutan otonomi yang lebih luas. Bahkan, Aceh dan Irian kini sedang bergolak untuk meminta perceraian.

Pemerintah pusat tentu saja menuduh gerakan ini sebagai gerakan separatisme PRRI/Permesta. Tapi banyak dokumen yang membuktikan bahwa PRRI/Permesta hanyalah gerakan koreksi terhadap pemerintah Jakarta, yang tidak memberikan keleluasaan kepada daerah mengatur diri sendiri untuk menikmati hasil keringat mereka, dan kemarahan yang tak tertahankan terhadap angin politik nasional yang mengarah ke kiri. Sentimen kedaerahan memang kuat, termasuk kecemasan para pembangkang terhadap "penyingkiran" Muhammad Hatta sebagai representasi luar Jawa dari panggung politik nasional. Tapi, mendirikan sebuah…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

D
Dan Sang Guru Berkata...
2004-04-18

Novel filsafat sophie's world menjadi sebuah jendela bagi dunia untuk melihat dunia imajinasi dan edukasi…

E
Enigma dalam Keluarga Glass
2010-04-11

Sesungguhnya, rangkaian cerita tentang keluarga glass adalah karya j.d. salinger yang paling superior.

T
Tapol 007: Cerita tentang Seorang Kawan
2006-05-14

Pramoedya ananta toer pergi di usia 81 tahun. kita sering mendengar hidupnya yang seperti epos.…