Najib Mahfuz: Di Antara Sensor Negara dan Masyarakat

Edisi: 30/29 / Tanggal : 2000-10-01 / Halaman : 62 / Rubrik : IQR / Penulis : Suyono, Seno Joko , Setiawan, Iwan , S., Endah W.


THE LAND IS FULL OF BIGOTRIES
They wish to drag us back fourteen centuries...
(seorang tokoh dalam "The Day the Leader Was Killed")

***

DI sebuah sore di Kairo, Rabu 14 Oktober 1994. Lelaki berusia 82 tahun itu berjalan kaki keluar apartemennya. Dengan tongkat dan kacamata hitam, ia menyusuri jalur untuk pedestrian. Seperti biasa, ia menunggu jemputan Fathi Hashem, dokter hewan teman akrabnya. Setiap Rabu, Fathi akan selalu menghampirinya untuk bersantai ke Café Kashr Al Nil-sebuah kafe di pinggir Sungai Nil di Kairo.

Hampir selama 30 tahun, setiap Rabu sore ia bertandang ke situ. Bersama kawan-kawan dekatnya ia membentuk kelompok ngobrol senja-yang secara olok-olok mereka sebut sebagai "Syallah El Harafisy" alias Keranjang Masyarakat Jembel. Baru saja sang lelaki tua hendak masuk mobil, seorang muda menghampiri. Karena anak muda itu akan menyalami dan mencium tangannya seperti biasa dilakukan para pengagumnya, sang lelaki tua-sudah biasa dihampiri pengemarnya-mengulurkan jemarinya.

Tiba-tiba tubuhnya bergetar. Sebuah pisau menggurat lehernya. Darah bercucuran dari samping kanan jakun. Lelaki itu rebah. Istri dan anaknya keluar rumah, berteriak histeris. Najib Mahfuz, sastrawan itu, akhirnya-melalui operasi-bertahan hidup hingga kini di usianya yang 90 tahun. Ia telah uzur, parasnya pucat, tapi ingatannya tentang peristiwa enam tahun silam itu masih jelas. "Sekarang saya tidak boleh jalan-jalan sendiri lagi. Bahkan rumah saya dijaga lebih dari tiga mabahis (polisi rahasia)," katanya kepada TEMPO, pekan lalu, di Café Magha Khon Kholily di Kairo sambil menyeduh qohwah turkiah-kopi Turki kental kesukaannya.

Menurut Mahfuz, sejak menerima hadiah Nobel Sastra pada 1988, ia banyak menerima ancaman pembunuhan. Ini mengingatkan pada peristiwa 12 tahun lalu-seminggu setelah berita kemenangannya, TEMPO pernah mewawancarainya (Ia tak mau pergi ke Stockholm untuk menerima hadiah. Saat acara, ia malah tidur siang di rumahnya.) "Saya gembira kesusastraan Arab dapat diterima dunia," tuturnya saat itu kepada wartawan TEMPO, (almarhum) Jaffar al-Bushiri. Semenjak itu, berturut-turut karyanya diterjemahkan ke berbagai bahasa.

Novel yang terakhir diterjemahkan ke bahasa Inggris (baru tahun ini dan tengah beredar di Indonesia) adalah novel karyanya tahun 1985 dengan judul asli Yawma Maqta el-Za'im (The Day the Leader Was Killed). Ini adalah novel yang berlatar belakang penembakan Anwar Sadat di tahun 1981 oleh anggota Al-Jihad. Seperti ungkapan salah satu tokohnya di atas, ia mengutuk tindakan brutal itu.

"Di Mesir, sensor tak hanya dilakukan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

D
Dan Sang Guru Berkata...
2004-04-18

Novel filsafat sophie's world menjadi sebuah jendela bagi dunia untuk melihat dunia imajinasi dan edukasi…

E
Enigma dalam Keluarga Glass
2010-04-11

Sesungguhnya, rangkaian cerita tentang keluarga glass adalah karya j.d. salinger yang paling superior.

T
Tapol 007: Cerita tentang Seorang Kawan
2006-05-14

Pramoedya ananta toer pergi di usia 81 tahun. kita sering mendengar hidupnya yang seperti epos.…