Najib Mahfuz: "Kebebasan Berekspresi Harus Dihargai"

Edisi: 30/29 / Tanggal : 2000-10-01 / Halaman : 76 / Rubrik : IQR / Penulis : , ,


MATAHARI di ufuk Kairo sudah mulai condong ke barat. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 19.00 waktu Kairo, yang berarti magrib akan segera datang. Namun, ratusan manusia justru semakin membanjiri daerah perbelanjaan Khon Kholily, Husein. Di antara riuh-rendahnya pusat perbelanjaan itu, di Kafe Khon Kholily, terdengar lamat-lamat suara Umi Koulsoum, penyanyi legendaris Mesir dan Arab. Sebuah wajah yang pucat dan penuh keriput yang menunjukkan usia yang hampir mencapai 90 tahun bersender pada punggung sofa sembari menikmati kopi kesukaannya, yaitu qohwah turkiah (kopi turki yang kental). Meski penglihatannya sudah mulai terganggu, melalui kacamatanya yang tebal, ia menikmati pemandangan hiruk-pikuk di luar kafe dan berbincang dengan putrinya yang sudah berusia 32 tahun.

Meski dia bukan seorang bintang film, foto dirinya terpampang di dinding kafe itu dan beberapa novel karyanya dipajang dari ujung ke ujung kafe. Bahkan, kafe itu lebih dikenal dengan nama dirinya, Kafe Najib Mahfuz, meski orang tua ini tak punya saham sedikit pun di kafe tersebut-itu karena, "Kami semua di sini benar-benar mengagumi Ustad Najib, di samping beliau seorang sastrawan besar kebanggaan bangsa Mesir. Namun, yang lebih penting, kami bangga beliau sering meluangkan waktunya di sini, di kafe ini, untuk mencari inspirasi buat novel-novelnya," tutur Ali, pelayan kafe yang sudah tahunan melayani sang "Ustad" (panggilan kehormatan bagi Mahfuz).

Najib Mahfuz memang lebih besar daripada hidup ini. Menghasilkan sekitar 40 novel dan ratusan cerita pendek, Mahfuz bukan hanya seorang sastrawan Mesir yang diperlakukan seperti selebriti di kafe langganannya di sebuah pojok Kairo. Dia adalah sastrawan dunia-yang diganjar hadiah Nobel Sastra pada 1988 untuk novel Trilogi Kairo, yang terdiri atas novel Bayn Al-Quasrayn (Palace of Walk), Quast Al-Shawk (Palace of Desire), dan Al-Sukkariyah (Sugar Street), yang diselesaikannya selama tujuh tahun, yang menjadi salah satu target pembunuhnya akibat pendirian sang kakek tua tentang kebebasan berekspresi.

Lahir di Gamaliyah, Kairo, 11 Desember 1911, sebagai putra bungsu dari tujuh bersaudara, semenjak kecil Mahfuz sering diajak ibunya ke museum-museum sejarah Mesir. Selain itu, ia rajin membaca karya sastra dan gemar menonton bioskop yang lazim mengangkat karya sastra. Ketertarikannya pada sejarah dituangkannya ke dalam novel-novelnya di kemudian hari. Memasuki usia remaja, Mahfuz lebih banyak membaca novel terjemahan Yayasan Ahram (yayasan yang mengeluarkan koran dan majalah Ahram) dan juga karya sastrawan Barat seperti Balzac, Zola, Camus, Tolstoy, Dostoyevsky, dan terutama Proust. Setelah membaca selesai novel-novel terjemahan dari karya satrawan Barat tersebut, Mahfuz mulai dipengaruhi oleh karya sastrawan Mesir seperti Thaha Husein, Abbas Mahmud Akkad, dan Muhammad Husein Haikal.

Ia mulai menulis pada umur 17 tahun, saat menjadi mahasiswa jurusan filsafat di Universitas King Faud I (sekarang bernama Universitas Kairo). Setelah lulus, Mahfuz bekerja di bagian administrasi di tempatnya menuntut ilmu sembari bekerja paruh waktu di salah satu harian di Kairo. Pada 1939, Mahfuz bekerja di Departemen Agama dan menyelesaikan tiga buah novel, yaitu Abath el-Aqdar (Mockery of the Fates), Radubi's, dan Kifah Tibah (The Struggle of Thebes). Mahfuz menikah pada 1954 dan dikaruniai dua orang putri. Setelah sempat berkelana dan bekerja di Departemen Kebudayaan dan diangkat sebagai…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

D
Dan Sang Guru Berkata...
2004-04-18

Novel filsafat sophie's world menjadi sebuah jendela bagi dunia untuk melihat dunia imajinasi dan edukasi…

E
Enigma dalam Keluarga Glass
2010-04-11

Sesungguhnya, rangkaian cerita tentang keluarga glass adalah karya j.d. salinger yang paling superior.

T
Tapol 007: Cerita tentang Seorang Kawan
2006-05-14

Pramoedya ananta toer pergi di usia 81 tahun. kita sering mendengar hidupnya yang seperti epos.…