Sastra Hindia Belanda: Catatan Sebuah Surga yang Hilang

Edisi: 14/29 / Tanggal : 2000-06-11 / Halaman : 47 / Rubrik : IQR / Penulis : Suyono, Seno Joko , Prasetyo, Adi , Jerphanion, Dina


BAU harum daun teh tanah Priangan masih terasa menyegarkan di hidung Hella Hesse. Rasa dan bau itu seolah terpancar dari novel Heren Van de Thee karya Hella Hesse, yang diluncurkan tahun lalu. Novel yang memilih seting perkebunan teh di Bandung itu mengisahkan seorang juragan Belanda yang makamnya digunakan sebagai lokasi tirakatan oleh rakyat setempat. Dalam waktu setahun roman itu menjadi best-seller.

Di Indonesia, Hesse dikenal melalui novel dan sinetron Oeroeg, yang pernah ditayangkan di televisi Indonesia. Novel itu bercerita tentang persahabatan bocah bumiputra dan Belanda yang kemudian menjadi musuh saat perang. Sedangkan novel Heren van de thee, yang juga menggunakan seting kolonial ini, konon, telah dicetak ulang 20 kali dalam setahun.

Ini membuktikan bahwa Indies belles-lettres (sastra Hindia Belanda), meski posisinya gamang, memiliki sumbangan penting dalam sastra Belanda. Kenyataannya selama bertahun-tahun sastra kolonial secara terus-menerus mendapat perhatian dari berbagai universitas Belanda. Pembentukan Werkgroep Indisch-Nederlandse Letterkunde pada 1986, sebuah komunitas masyarakat ilmiah sastra di Belanda, yang menerbitkan jurnal triwulanan Indische Letteren, adalah bukti lain yang menunjukkan adanya perhatian itu.

Menurut Dr. Gerard Termorshuizen, peneliti senior di Koninklijk Instituut voor Taal-Land en Volkenkunde di Leiden, sastra Hindia Belanda sejak puluhan tahun mengambil tempat yang penting dalam studi sejarah sastra Belanda. Ada dosen khas di bidang ini di berbagai universitas. "Sampai sekarang masih banyak mahasiswa menulis skripsi M.A. dan disertasi tentang sastra Hindia Belanda, " tuturnya kepada Tempo di Belanda.

Apa gerangan sastra Hindia Belanda? Sastra yang berkisah dengan latar belakang masa kolonial? Atau sastra yang hanya ditulis oleh penulis Belanda yang pernah mengenyam masa kolonial di Indonesia? Pengamat sastra Faruk menyatakan bahwa sastra Hindia Belanda atau Indische letteren adalah sekumpulan tulisan orang Belanda yang ditulis dalam bahasa Belanda, mengenai Indonesia, baik mengenai situasi dan kondisi geografinya, lingkungan alamiah, maupun lingkungan manusia (baca Sastra Hindia Belanda: Mencari Sebuah Identitas)

Meski definisi ketat ini cenderung menganggap bahwa sastra Hindia Belanda seyogianya ditulis oleh penulis Belanda atau Indo yang pernah mengecap kehidupan tanah koloni, pada dasarnya ada juga beberapa buku karya "penulis bumiputra" yang menulis dengan seting Hindia Belanda tapi dari sisi perlawanan, di antaranya Hikayat Kadiroen karya Semaoen dan Student Hijo karya Marco Kartodikromo. Kedua novel yang disebut belakangan ini tentu saja termasuk tonggak sastra Indonesia atau katakanlah perintis sastra perlawanan. Namun, karena kedua novel ini secara berani membuat kontras kehidupan di Belanda dan Hindia Belanda dari sisi para pejuang Indonesia, menarik membandingkan karya "sastra Hindia Belanda" yang ditulis oleh penulis Belanda, dengan "sastra Indonesia" yang menggunakan seting yang sama dan kritik yang cukup senada.

Sebetulnya dalam sastra Hindia Belanda pun, kebudayaan Eurasia (Eropa Asia) yang menjadi ciri khas ekspresi para penulis itu cukup beragam. Pada abad ke-18, kebudayaan mestizo telah mencapai bentuknya yang mapan dan plural. Kebudayaan Hindia Belanda pada masa itu tak hanya seperti stereotip gambar litograf seorang nyonya berjalan, memakai kipas sembari membawa buku masmur dipayungi para budaknya yang membawa perlengkapan kotak sirih dan tempolong di siang hari yang panas ke gereja. "Masyarakat Indo tidak dapat disamaratakan karena mereka juga berlapis-lapis, baik fisik, sosial, maupun budayanya," ujar A. Teeuw di kantornya.

Menurut Dr. Gerard Termorshuizen, sebagian besar komunitas Eropa saat itu tinggal di kota. Pada umumnya mereka hidup dalam dunianya sendiri, yakni bergaya hidup Eropa dengan latar belakang tropis. Gaya hidup semacam ini juga merupakan satu karakter kemiripan yang bisa ditemui pada karya sastra masyarakat koloni di negara lain. Ahli multikulturalisme E.M. Beekman membuat perbandingan menarik antara sastra Hindia Belanda dan sastra Amerika bagian selatan. Karya sastra Hindia Belanda, menurut Beekman, mengingatkan kita kepada napas karya sastrawan terkemuka AS bagian selatan seperti William Faulkner, John Crowe Ransom, dan Robert Penn Warren.

Baik penulis sastra Hindia Belanda maupun AS selatan sama-sama memiliki ketidakpercayaan terhadap pusat. Mereka menganggap tanah koloni sebagai kesatuan yang berdiri sendiri dan sanggup mencukupi kebutuhan sendiri. Sementara sastrawan AS selatan melihat utara sebagai Yankee, sastrawan di tanah Hindia Belanda memiliki kebencian terhadap The Hague. Hague dianggap perwujudan gagasan modern yang sok progresif tapi tidak memiliki pengetahuan nyata tentang kondisi tanah jajahan.

Sastrawan Hindia Belanda cenderung mengeksplorasi sisi-sisi gelap tentang kehidupan masyarakat kolonialisme. Pada dasarnya kehidupan di koloni penuh paradoks. Di satu pihak terdapat fenomena umum yang menunjukkan hubungan seksual yang longgar, maraknya perjudian, gaya hedonisme dan hipokritisme status serta derajat. Di sisi kehidupan masa itu menampilkan kehidupan yang hangat, sikap ramah-tamah, dan keriangan yang menonjol.

Beekman menemukan persamaan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

D
Dan Sang Guru Berkata...
2004-04-18

Novel filsafat sophie's world menjadi sebuah jendela bagi dunia untuk melihat dunia imajinasi dan edukasi…

E
Enigma dalam Keluarga Glass
2010-04-11

Sesungguhnya, rangkaian cerita tentang keluarga glass adalah karya j.d. salinger yang paling superior.

T
Tapol 007: Cerita tentang Seorang Kawan
2006-05-14

Pramoedya ananta toer pergi di usia 81 tahun. kita sering mendengar hidupnya yang seperti epos.…