Abdurrahman Wahid: Saya Nggak Mau Bangsa ini Terbakar

Edisi: 12/27 / Tanggal : 1998-12-28 / Halaman : 32 / Rubrik : NAS / Penulis : , ,


SERANGAN stroke membuatnya pasif menghadapi ingar-bingar politik. Tapi itu dulu. Kini, meski belum sembuh betul, Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PBNU yang disapa Gus Dur itu, terus saja bergerak lincah ke sana-kemari. Ia menemui Pangab Jenderal Wiranto, Presiden Habibie, dan bekas presiden Soeharto, untuk sebuah hajat penting: mempertemukan ketiganya demi kerukunan bangsa.

Dialog empat besar itu tentunya butuh energi besar. "Sekarang kondisi saya sudah pulih 65 persen," kata Gus Dur. Bersama istri, dua kali seminggu, ia menjalani terapi alternatif di Rawamangun, Jakarta Timur, selain kontrol di RSCM. Usai dipijat, pria berusia 58 tahun kelahiran Jombang, Jawa Timur ini menerima Wahyu Muryadi dan Agus S. Riyanto dari TEMPO. Saat wawancara berlangsung, Jumat petang pekan lalu, Gus Dur rebahan di kamarnya yang dipenuhi obat, alat medis, telepon, dan air zam-zam. Petikannya.

Apa perlunya Anda ke sana-kemari menemui Habibie, Wiranto, dan Soeharto?

Saya melihat bahwa bangsa ini sedang menuju ke arah perang saudara, kalau nggak hati-hati, lo. Karena di satu pihak birokrasi sipil yang kaku dan, kedua, birokrasi militer yang lebih kaku, seperti yang kita saksikan kemarin itu, lo. Memukuli mahasiswa yang ndak ada urusannya, ya to? Lalu di dalam birokrasi sipil dan birokrasi militer itu nempel kelompok kanan yang suka pakai kopiah. Kemudian ada orang-orang pengikut Pak Harto yang tidak mau mengalah karena juragannya (Soeharto) dihujat dan didemonstrasi. Jadi selama Pak Habibie, Pak Wiranto, dan Pak Harto tidak mau sepakat menyudahi semuanya itu, ya kita tidak akan mengenal perdamaian.

Jika jadi bertemu, apa yang penting untuk Anda sampaikan kepada ketiganya?

Kesediaan agar mereka sepakat bahwa mereka akan menghentikan anak buahnya, sehingga tidak bertindak sendiri-sendiri. Begitu saja, kok. Keempat orang ini, termasuk saya, bertemu dan berjanji akan menghentikan segala hal itu.

Rencananya, kapan pertemuan itu dilakukan?

Ya, nggak tahu. Berdasarkan pengalaman, mempertemukan tiga orang itu enggak gampang. La, masing-masing punya keperluan sendiri-sendiri.

Apakah pertemuan itu bisa mengatasi kekacauan yang terjadi?

Paling tidak kalau orang itu bertemu kan sudah ngentengkan (meringankan) masalah. Tapi saya tidak mau terlalu optimistis atau pesimistis. Pas-pasan saja. Dengan kata lain, enggak gampang mempertemukan mereka. Kalau Wiranto pasti gampang, tetapi yang dua itu, lo (Soeharto dan Habibie), yang paling sulit.

Apakah Anda sudah menghitung langkah tak populer ini?

Kalau menghitung popularitas dan sebagainya, ya, tidak jadi apa-apa dan tidak mengarah ke tujuan negara ini. Bangsa ini akan hancur berantakan. Saya nggak tega melihat bangsa ini hancur berantakan. Apa pun alasannya. Kalau mau enak-enakan, saya tinggal di rumah saja. Kalau diapa-apakan, saya dilindungi masyarakat, kok.

Kenapa ulama mendatangi umaro (penguasa), bukan malah sebaliknya?

Itu kan soal fikih, soal muamalah. Soal muamalah itu siapa saja boleh. Ketika Nabi mengatakan…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

S
Setelah Islam, Kini Kebangsaan
1994-05-14

Icmi dikecam, maka muncul ikatan cendekiawan kebangsaan indonesia alias icki. pemrakarsanya adalah alamsjah ratuperwiranegara, yang…

K
Kalau Bukan Amosi, Siapa?
1994-05-14

Setelah amosi ditangkap, sejumlah tokoh lsm di medan lari ke jakarta. kepada tempo, mereka mengaku…

O
Orang Sipil di Dapur ABRI
1994-05-14

Sejumlah pengamat seperti sjahrir dan amir santoso duduk dalam dewan sospol abri. apa tugas mereka?