Akhir Perjalanan Khmer Merah

Edisi: 19/36 / Tanggal : 2007-07-08 / Halaman : 59 / Rubrik : SEL / Penulis : Hasugian, Maria, ,


Mereka, elite Khmer Merah yang masih hidup, sebenarnya sudah uzur. Pol Pot, orang nomor satu rezim yang dinilai bertanggung jawab atas pembantaian 1,7 juta rakyat Kamboja itu, telah tiada. Tapi inilah pengadilan besar buat orang nomor dua, tiga, dan empat: Nuon Chea, Ieng Sary, dan Khiew Samphan. Kepastian bahwa pengadilan akan digelar membuat mereka—juga siapa saja yang terlibat Khmer Merah—cemas. Sudah 28 tahun mereka hidup bebas, tak tersentuh hukum.

Tulisan berikut adalah potret Kamboja yang mencoba mengatasi masa lalunya. Wartawan Tempo, Maria Hasugian, mengunjungi Pailin, kota kecil dekat perbatasan Kamboja- Thailand yang menjadi dapur penggodokan tentara Khmer Merah sebelum mereka memburu orang-orang yang tak sehaluan, terjun ke ladang-ladang pembantaian, the killing fields.

Pailin, Kamboja, Mei 2007. Salon-salon kecantikan dengan plang dan neon berbahasa Inggris, perempuan-perempuan muda mengecat rambut dan kuku, mobil-mobil baru, taksi-taksi Toyota Camry, semua bergerak, melesat di tengah kota.

Di kota paling barat Kamboja yang berbatasan dengan Thailand itu, kapitalisme tumbuh dengan segala kontradiksinya. Di Jalan utama, sebuah gedung kasino berdiri di antara rangkaian panjang rumah beratap rumbia dan berdinding kayu. Anak balita berlarian, bermain-main di halaman rumah, bugil, dengan perut buncit.

Pailin adalah kota yang berubah. Di pinggir jalan memang masih berdiri papan reklame yang mengajak setiap orang yang memiliki senjata segera menyerahkannya ke pemerintah. Mungkin itulah warisan mengerikan masa lalu yang masih eksis hingga kini—di samping papan peringatan merah di pinggir-pinggir kota bergambar tengkorak, dengan tulisan dalam bahasa Inggris dan Khmer: Awas Ranjau! Tapi inilah Pailin, dan warga kota itu seolah-olah telah sepakat mengubur masa lalu, mengisi masa kini dengan mencari duit—sekaligus menghabiskan duit—sebanyak-banyaknya.

Seorang pastor asal Prancis pernah membuat kesaksian mencekam dalam bukunya yang terbit pada akhir 1970-an: Cambodge anee zero. Ia, Francois Ponchaud, adalah orang yang pernah hidup bersama para petani miskin di negeri itu. Mulanya ia menyambut revolusi Khmer Merah yang mengempaskan rezim militer Lon Nol yang kotor dan korup. Tapi Khmer Merah di bawah Pol Pot lantas dalam waktu singkat menunjukkan wajahnya yang datar, mematikan.

Semua ia catat. Ia menyaksikan harapan yang melambung seperti awan, tatkala pasukan Khmer Merah masuk kota dan disambut bak pahlawan. Ia juga menyaksikan rantai antiklimaks yang begitu cepat:…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…