Sungai Silaoinan, Suatu Hari

Edisi: 05/38 / Tanggal : 2009-03-29 / Halaman : 51 / Rubrik : IMZ / Penulis : Febrianti, ,


Pulau Siberut merupakan surga bagi para surfer. Ombak ganas Selat Mentawai, di sebelah timur pulau itu, termasuk satu di antara ombak terbaik dunia. Namun semua itu tak mengubah banyak kehidupan masyarakat Siberut, dari masa ketika para antropolog asing datang pada 1950-an. Aktivitas memanah, menyagu, punen, berobat pada sikerei (dukun dan ahli tumbuhan obat), masih berlangsung sehari-hari. Yang berbeda hanya beberapa hal: anak-anak, ibu-ibu, dan laki-laki tak lagi bertelanjang dada. Tradisi tato untuk menghiasi tubuh yang terkenal itu kini sudah tak populer. Ikuti perjalanan wartawan Tempo Febrianti ke pulau di barat Sumatera itu.

MALAM telah mencapai puncaknya. Kapal motor Sumber Rejeki Baru yang mengarungi Selat Mentawai mulai berayun kencang. Derit kapal kayu yang membawa saya dan lebih seratus penumpang dari Padang menuju Pulau Siberut ini mulai sering terdengar, pertanda badai datang.

Suasana terasa makin menyeramkan karena teringat ramalan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika bahwa minggu pertama Februari itu merupakan puncak cuaca ekstrem di Samudra Hindia. Akan ada gelombang tinggi karena pengaruh gerhana bulan.

Sebenarnya gelombang tinggi itu menjadikan Mentawai sebagai salah satu kawasan dengan ombak terbaik di dunia. Bagi pecandu surfing, berselancar di Mentawai adalah impian. Bukan saja karena pantainya bersih, alami, melainkan juga eksotismenya, karena letaknya terpencil di perairan paling barat Indonesia.

Puluhan pebisnis surfing yang rata-rata orang asing konon sampai ”berdarah-darah” memperebutkan lokasi ombak di Mentawai. Sayangnya, orang Mentawai sendiri hampir tak ada yang kecipratan keuntungan bisnis ini. Mereka hanya menyewakan lahan, bahkan pulau, untuk jangka panjang.

Setelah berlayar hampir 12 jam, saat kapal mendarat di dermaga Mailepet di Muara Siberut, langit ternyata cerah dengan awan tipis. Keadaan ini langsung membuyarkan ramalan tentang cuaca yang ekstrem. Cuaca di kepulauan kecil ini memang sulit diduga, karena hari itu hujan lebat juga sempat turun dan sorenya kembali cerah.

Puluhan penumpang yang sebagian besar pedagang, pegawai negeri, pelajar, turis asing yang akan berselancar, bergegas turun. Pedagang bersiap mengangkut dagangannya ke pasar Muara Siberut. Kedatangan mereka tiap dua kali seminggu sesuai jadwal kedatangan kapal menjadi sumber terciptanya pasar dadakan hingga sore. Pedagang dari Padang ini membawa hampir semua kebutuhan pokok, dari beras, sayuran, sabun, hingga pakaian. Sorenya mereka kembali lagi ke Padang dengan kapal yang sama.

l l l

Saya dan Tarida Hernawati, antropolog yang sudah lima tahun meneliti dan bekerja untuk Yayasan Citra Mandiri, organisasi nonpemerintah Mentawai, meneruskan perjalanan dengan pompong, perahu kecil dengan mesin 5 PK menuju kampung tradisional Mentawai di sepanjang…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

I
Iqbal, Sang ’Allama
2008-04-20

Tanggal 21 april 2008 menandai genap tujuh dekade wafatnya muhammad iqbal. selaku politikusnegara­wan, sumbangan terbesar…

I
Iqbal, Sang Politikus
2008-04-20

Sebuah pidato terlontar di depan anggota partai politik liga muslim pada 29 desember 1930 di…

K
Kerajaan Cinta dalam Senyap Mawar
2008-04-20

Tidak mudah menguraikan kekuatan puisi seorang penyair besar, kecuali melalui perbandingan sajak dengan penyair lain…