JALANNYA MULUS LAGI

Edisi: 01/24 / Tanggal : 1994-03-05 / Halaman : 1- / Rubrik : PDA / Penulis :


BANGUN DARI MIMPI BURUK

Industri otomotif adalah industri yang penuh kontroversi di Indonesia. Barangkali tak ada industri, dimana konsumen, produsen dan pemerintah, terlibat secara emosional didalamnya. Produk industri otomotiv diperlukan konsumen untuk memenuhi kebutuhan dasar, yang mengangkut orang dan barang dari satu tempat ke tempat lain dan juga untuk memenuhi glamour, bagi mereka yang mampu membelinya. Produsen otomotiv, setelah mengeduk keuntungan yang besar lewat proteksi selama ini, cukup merasa lega karena deregulasi otomotiv yang dikeluarkan pada Juni 1993, tidak mengurangi secara berarti proteksi yang mereka peroleh selama ini. Disamping itu, penjualan otomotiv, telah memberi penerimaan pajak yang cukup besar bagi pemerintah. Harga jual otomotiv disini, sebagian besar merupakan pajak dan pungutan lain dari pemerintah.

Industri otomotiv sendiri di Indonesia, sebagaimana di negara industri, merupakan industri yang bersifat siklikal. Ini jelas kelihatan dalam Iima tahun terakhir ini . Dari industri yang penjualannya setiap tahun tumbuh 10-12%, pada 1990, penjualannya mendadak melonjak 54%. Tahun 1990 merupakan tahun dimana ekonomi Indonesia mengalami lonjakan investasi dan ekspansi kredit bank, yang meningkatkan permintaan otomotiv. Keadaan ini berlangsung cepat, sehingga lonjakan permintaan terhadap kendaraan bermotor dengan susah payah dipenuhi oleh industri otomotiv. Harga mobil melonjak, pembeli harus antri, dan kran impor harus dibuka untuk beberapa jenis kendaraan niaga, karena kapasitas produksi didalam negeri, sudah penuh terpakai. Tahun itu merupakan saat dimana industri otomotiv di Indonesia mengalami panen besar, yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Pada 1990, jumlah penjualan otomotiv mencapai rekor 275.000 unit. Setahun sebelumnya, jumlah penjualan masih 178.000 unit. Penjualan kendaraan niaga meningkat 49% dari tahun sebelumnya menjadi 211.000. Kenaikan penjualan jenis sedan lebih spektakuler, dengan pelonjakan 77% dari tahun sebelumnya. Pada tahun itu, penjualan sedan mencapai 56.500 unit.

Dalam ekonomi dan bisnis, apa yang terjadi mendadak, memang tak bisa berlangsung lama. Kejadian mendadak, adalah gejala yang tidak normal, dan bagi pemerintah ini bukan kejadian yang dikehendaki. Pemerintah yang melihat risiko negatip dari ekonomi yang terlalu panas, dengan cepat memberlakukan kebijaksanaan moneter ketat pada 1991. Pertambahan uang beredar dan kredit bank ditekan, dan suku bunga naik membubung. Dampaknya segera terasa bagi industri otomotiv. Pada 1991, penjualan otomotiv turun 5%. Keadaan menjadi lebih buruk lagi pada 1992, dengan timbulnya ketidak pastian disekitar rencana pemerintah untuk mengeluarkan deregulasi dibidang otomotiv. Konsumen yang berharap bahwa deregulasi akan mengakibatkan turunnya harga kendaraan, menunggu dan menunda pembelian. Sementara itu industri perakitan dan dealer kebanjiran stok, yang tidak bisa dijual. Biaya modal kerja meningkat. Keadaan ini diperburuk lagi dengan meningkatnya kredit macet dari pembeli kendaraan yang tidak mampu membayar utangnya. Dan bank-bank sendiri, mengalami kredit macet yang serius, akibat pemberian kredit secara jor-joran setahun sebelumnya. Akibatnya, mereka mengetatkan pemberian kredit konsumsi, termasuk kredit pembelian kendaraan bermotor.

Bagi industri otomotiv Indonesia, apa yang terjadi pada 1992, benar-benar sebuah mimpi buruk. Penjualan otomotiv ambruk. Jumlah penjualan jatuh dari 261.000 unit menjadi hanya 170.000 unit, lebih rendah dari penjualan pada 1989. Keadaan ini benar benar menyakitkan industri otomotiv, karena jumlah yang terjual itu hanya membutuhkan sepertiga kapasitas produksi. Beberapa pabrik perakitan, harus mengurangi jam kerja, bahkan ada yang harus memberhentikan karyawannya.

Pasar yang lesu masih terus berlangsung sampai pertengahan 1993. Keadaan mulai membaik setelah paket deregulasi diumumkan pada Juni 1993. Sementara itu, situasi moneter juga mulai longgar, dan bank-bank sudah mulai memberi kredit untuk pembelian kendaraan. Penjualan otomotif pada 1993, meningkat 24%, menjadi 210.461 unit. Sekalipun jumlah yang terjual ini, masih lebih rendah dari penjualan pada 1991, tapi sekurangnya titik terendah penjualan sudah dilampui. Sebagian besar kenaikan penjualan pada 1993 berasal dari penjualan kendaraan niaga. Penjualan jenis kendaraan ini naik 29%. Penjualan kendaraan sedan, hanya naik 7%.

Deregulasi otomotiv yang dikeluarkan pada Juni 1993, bersamaan dengan berakhirnya "pergolakan" pasar otomotiv 1990-1992, tidak mempunyai tujuan yang jelas. Benar bahwa impor kendaraan dalam bentuk utuh (CBU) diijinkan, tapi dengan tarip bea masuk yang tinggi, efeknya sama dengan pelarangan impor. Perangsang diberikan kepada industri yang menggunakan lebih banyak komponen lokal, dalam bentuk pengurangan bea masuk komponen yang masih diimpor. Tapi meningkatnya penggunaan komponen lokal, tidak indentik dengan meningkatnya efisiensi. Padahal kunci dari pertumbuhan industri otomotiv Indonesia dimasa mendatang adalah kemampuan mereka mengurangi biaya dan harga. Dan ini menyangkut proteksi dan pajak penjualan dan pajak penjualan barang mewah kendaraan bermotor, dua hal yang sensitif, yang selama ini belum ada yang berani menyentuhnya.

***
Agen Tunggal pemegang merk, pemilik dan merk yang diageni
==================================================
Pemilik Saham Agen Tunggal Merk Negara
Asal
==================================================
ASTRA Group
PT. Daihatsu Indonesia Daihatsu Jepang
PT. Toyota Astra Motor Toyota Jepang
PT. United Imer Motor Nissan Diesel Jepang
PT. Multi France Motor Peugeot Perancis
Renault Perancis
PT. Cahaya Sakti BMW Jerman Barat
Motor Corp.
PT. Pantja Motor Isuzu Jepang
PT. Federal Motor
Mustika FIAT Italia
INDOMOBIL Group
PT. Indomobil Suzuki Int. Suzuki Jepang
PT. National Motors Co. Mazda Jepang
Hino Jepang
PT. Central Sole Agency Volvo Swedia
PT. Wahana Wirawan Datsun Jepang
Nissan Patrol Jepang
KRAMA YUDHA Group
PT. Krama Yudha Tiga
Berlian Mitsubishi Jepang
==================================================

***

LEBIH NASIONAL, LEBIH MAHAL?

INDUSTRI komponen otomotif harus menghadapai volume pasar dalam negeri yang kecil, dan jumlah merk mobil yang terlalu banyak.

KALAU komponen utama kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan industri mobil adalah penggunaan komponen lokal. Pertumbuhan industri komponen dalam negeri dilihat sebagai kunci dari perkembangan industri otomotiv. Pada pertengahan 1970-an, kebijaksanaan industri yang berbau nasionalistik, sempit, dan kurang mempertimbangkan efisiensi, merupakan ciri yang dominan. Kebijaksanaan dalam pengembangan industri komponen juga mengandung ambisi untuk menguasai tehnologi, dan memperoleh nilai tambah yang lebih tinggi, karena siapa tahu, produksi komponen dalam negeri suatu saat bisa diekspor.

Program penanggalan ("deletion program") sejak itu diberlakukan untuk produksi kendaraan niaga katagori I (2,5 ton),l katagori II (sampa 9 ton), katagori III (sampai 24 ton), dan kendaraan jeep. Sedangkan kendaraan niaga katagori V (bobot lebih dari 24 ton) serta sedan, dibebaskan dari program penanggalan. Dengan program ini, sekitar 187 jenis komponen atau 73% dari seluruh komponen yang diperlukan harus merupakan komponen produksi dalam negeri. Ternyata tak mudah melakukan lokalisasi komponen seperti yang dikehendaki pemerintah, sehingga pemerintah terpaksa mengundur batas waktu yang ditetapkan. Dilain pihak, kebijaksanaan ini memberi dilema bagi Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM). Induk perusahaan atau prinsipalnya di luar negeri punya alasan untuk kurang senang dengan kebijaksanaan pemerintah Indonesia. Bukan karena mereka pelit atau enggan menyerahkan tehnologi kepada agen tunggalnya di Indonesia. Tapi karena mutu komponen yang digunakan akan menentukan mutu kendaraan yang diproduksi. Disini mutu produk dipertaruhkan. Mereka tidak serta merta percaya dengan mutu komponen buatan lokal. Bagi industri seperti mobil, reputasi dan kepercayaan konsumen adalah segalanya, dan baik buruknya komponen yang dipakai akan berpengaruh besar. Bagi ATPM, sulit untuk membujuk prinsipalnya agar mau memindahkan produksi beberapa komponen yang kritis seperti mesin dan transmisi ke Indonesia. Dan bagi ATPM, proses lokalisasi komponen ini kadang kadang berjalan lambat, karena diperlukan waktu yang cukup lama untuk melakukan negosiasi dengan prinsipalnya.

Sikap pemerintah yang tak bisa ditawar dalam lokalisasi komponen masih terus berlanjut sampai tercapainya persetujuan kawasan perdagangan bebas ASEAN atau AFTA. Sebagai bagian persetujuan ini, industri otomotiv dikawasan ASEAN diberi kesempatan untuk menggunakan sistim "brand to brand complementary" atau BBC. Ini sebuah sistim, dimana satu merk mobil menggunakan berbagai komponen dari negara ASEAN, menurut pola yang paling efisien. Toyota, misalnya sudah membuat usulan, dimana masing-masing industrinya di negara ASEAN memproduksi beberapa jenis komponen tertentu, dimana mereka paling efisien. Indonesia, misalnya mengkhususkan produksi mesin; Toyota di Thailand mengkhususkan diri pada produksi "body press"; sedangkan Toyota Filipina dan Thailand mengkhususkan diri pada produksi transmisi, "steering', "gear box", dan komponen plastik. Tapi pemerintah Indonesia kurang berminat dengan mekanisme BBC ini. Indonesia lebih suka sistim "multi sourcing", dimana industri otomotiv di satu negara memproduksi sendiri berbagai komponennya sendiri, tanpa harus melakukan spesialisasi. Disini jelas, bahwa pemerintah Indonesia masih lebih menekankan ketrampilan tehnologi dari efisiensi. Tapi ini berarti dilema lain bagi industri komponen. Pasar otomotiv di Indonesia, masih relatif kecil, sekitar 260.000 setahun. Bagi industri komponen yang jumlahnya mencapai ratusan itu, volume ini merupakan kendala bagi operasi yang hemat biaya, dibanding investasi yang harus ditanam. Hal ini diperburuk lagi, karena yang harus dilayani adalah kendaraan bermotor dari 26 merk, yang masing masing mempunyai kebutuhan komponen yang berbeda.

Sekalipun demikian, prospek pertumbuhan industri komponen agak tertolong dengan dikeluarkannya deregulasi otomotiv pada Juni 1993 . Semula mereka khawatir bahwa deregulasi akan membuka lebih lebar pintu impor mobil utuh ("built up"). Bila ini terjadi, maka pasar mereka jelas akan menciut, karena industri perakit mobil kurang memerlukan produk mereka. Deregulasi juga memberi perangsang bagi industri otomotiv untuk meningkatkan penggunaan komponen lokal, dimana, makin besar komponen lokal yang mereka gunakan, makin kecil bea masuk untuk komponen lain yang masih mereka impor. Sehingga kendala bagi prospek mereka adalah masih kecilnya volume produksi didalam negeri. Untuk mengimbangi hal ini, beberapa industri komponen telah mencoba mengekspor, dan beberapa sudah berhasil memperoleh pasar di luar negeri.

***

NB: Tabel. Produksi Komponen Otomotif 1980/81-1991/92 dapat lihat di Majalah

***

ARTI KIJANG BAGI TOYOTA DAN ASTRA

"Benarkah keberhasilan Kijang mencerminkan keberhasilan sebuah konsep mobil penumpang yang cocok buat Indonesia?"

VOLUME penjualan Toyota pada 1993 naik 11% dari penjualan tahun 1992. Kenaikannya lebih rendah dari kenaikan yang dialami Suzuki dan Mitsubishi dua saingan terdekatnya. Penjualan mobil Kijang, produk utama Astra Internasional, setelah peningkatan penjualannya agak seret sepanjang 1993, dua bulan terakhir meningkat cepat. Penjualan Kijang naik 6,7% dari penjualan 1992.

Toyota ternyata tidak berhasil mempertahankan pangsa pasar otomotivnya. Pangsa…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

J
JALANNYA MULUS LAGI
1994-03-05

Survei industri otomotif di indonesia, mulai gejolak pasar hingga industri komponen. kijang diangap mobil keluarga…

K
KEBANGKITAN BANK SWASTA?: SURVEY PERBANKAN
1994-06-04

Riset dan analisa pdat tentang dunia perbankan, dari soal bank yang melonjak, bank yang menurun,…

B
Bukan Industri Mainan
1993-07-10

Beberapa industri strategis indonesia sudah mencapai kemajuan teknologi yang berarti, namun masih mengalamai keterbatasan dana…