KEBANGKITAN BANK SWASTA?: SURVEY PERBANKAN

Edisi: 14/24 / Tanggal : 1994-06-04 / Halaman : I- / Rubrik : PDA / Penulis :


MEMANFAATKAN SITUASI SETELAH DEREGULASI

SEJAK deregulasi perbankan dilancarkan pada 1988, industri perbankan di Indonesia tak pernah sepi dari goncangan. Tiap tahun kita menyaksikan ada bank-bank yang dilanda kesulitan. Peristiwa ini menimbulkan berbagai macam penafsiran. Salahkah deregulasi perbankan ? Atau, sudah siapkah bank-bank diberi kebebasan dalam melakukan operasinya ? Atau, deregulasi merupakan sesuatu yang baik untuk pertumbuhan industri perbankan, tapi beberapa pengusaha yang serakah, baik yang mempunyai perusahaan didalam kelompok atau diluar kelompok bank, memanfaatkan situasi untuk mengeduk keuntungan sebanyak-banyaknya atas pengorbanan bank.

Pemerintah sendiri nampaknya tidak tahu pasti apa yang mesti dilakukan. Berbagai peraturan telah dikeluarkan baik yang memperketat atau yang melonggarkan gerak gerik bank. Reaksi dan respons bank-bank terhadap sebuah peraturan perbankan memang sulit diantisipasi. Itulah sebabnya, BI, sebagai lembaga yang tugasnya mengawasi kesehatan bank-bank nampak agak kedodoran dalam melaksanakan fungsinya tersebut. Banyak bank yang melakukan pelanggaran L-3 misalnya lewat begitu saja. Tak ada sanksi, tak ada peringatan dini, tahu tahunya banknya sudah megap megap. Ada beberapa alasan kenapa sulit bagi BI untuk melaksanakan fungsinya dengan konsekwen. Mungkin kurang tenaga, atau menghadapi persekongkolan politis yang kuat, atau karena beberapa peraturan pemerintah ternyata tidak praktis untuk dipenuhi. Tapi yang paling sulit mungkin adalah mengawasi bank-bank yang jumlahnya melonjak sejak lima tahun terakhir. Dalam waktu lima tahun sejak Pakto 1988, jumlah bank meningkat dari 111 pada 1988 menjadi 231 pada 1993. Jumlah kantor bank naik lebih pesat lagi , dari 1700 pada 1988, menjadi 4500 pada 1993. Perkembangan pesat ini menghadapkan BI dengan masalah pelik, bagaimana melakukan pengawasan yang efektif. Kekurang mampuan BI dalam melakukan pengawasan memperbesar risiko timbulnya krisis perbankan.Dan situasinya nampaknya masih runyam, kalau dilihat, bahwa tenaga tenaga perbankan yang tersedia tidak sebanding dengan lonjakan permintaan. Mutu, tenaga yang kurang memadai ini masih akan menimbulkan beberapa goncangan dalam industri perbankan.

Deregulasi, yang berarti meningkatnya persaingan memaksa bank-bank untuk melakukan penyesuaian. Dan penyesuaian ini nampaknya cukup berat terutama bagi bank-bank pemerintah. Sejak deregulasi perbankan, kinerja bank-bank pemerintah terus merosot. Mereka masih kaget menghadapi gebrakan bank swasta yang sangat agresip. Masalah mereka menjadi lebih rumit dengan selalu adanya tekanan-tekanan dari pejabat tinggi lewat katabelece, yang menghalangi bank-bank pemerintah mempraktekkan prinsip-prinsip perbankan yang murni.

Mungkin karena deregulasi perbankan merupakan sesuatu yang baru, sehingga dampaknya sering kali tidak diduga, pemerintah , selama lima tahun terakhir ini mengeluarkan serangkaian peraturan yang menunjukkan masih adanya trial and error. Setelah meledak pada 1990 dan 1991, bisnis perbankan lesu. Pertumbuhan kredit yang seret cukup menghambat perkembangan moneter, dan pertumbuhan ekonomi. Sampai akhirnya pada Mei 1993, pemerintah "menyetel" lagi beberapa peraturan, yang memperlonggar ruang gerak bank.

BANGKIT LAGI SETELAH LESU

PERBANKAN, setelah pertumbuhannya agak tertekan pada 1991 dan 1992, pada 1993, mulai bergairah lagi, dan menghasilkan pertumbuhan aset yang lebih besar. Aset seluruh perbankan naik 28% pada 1993, setelah pada 1991 dan pada 1992, masing masing hanya naik 14% dan 12%. Pertumbuhan aset bank sebagian besar dipengaruhi oleh peningkatan kredit yang diberikan, karena pinjaman merupakan komponen aset yang paling besar dan paling penting.

Ada beberapa faktor, kenapa pertumbuhan aset pada 1991 dan 1992 agak rendah. Pertama, masih adanya dampak kebijaksanaan kredit ketat (TMP) pemerintah. Kedua makin ketatnya peraturan BI yang digunakan untuk memonitor kesehatan bank. Dan yang tak kalah pentingnya, situasi dunia usaha yang tidak menentu dilihat bank-bank sebagai mempunyai risiko yang besar, sehingga bank-bank sangat hati hati dalam memberi kredit. Mereka lebih suka menempatkan dananya di SBI yang suku bunga cukup tinggi, dan aman, tanpa ada risiko. Larisnya instrumen SBI sebagai tempat penyaluran dana perbankan ini menjebabkan melonjaknya posisi SBI pada 1991 dan 1992, yang mengakibatkan BI harus menanggung beban sekitar RP 1 triliun untuk membayar bunga SBI yang pada 1991 berkisar antara 18% dan 15% pada 1992. Pada akhir 1991, posisi SBI mencapai Rp 11 triliun, pada hal awal tahun baru berjumlah Rp 1,5 triliun. Pada akhir 1992, posisi SBI melonjak dua kali lipat menjadi Rp 21 triliun.

Kemampuan bank-bank dalam mengumpulkan dana dari masyarakat pada 1993 juga cukup mengagumkan. Dana masyarakat yang ditarik bank-bank pada 1993, melonjak 90%. Ini terjadi justru pada saat, suku bunga deposito turun. Bank bank swasta memang nampak lebih agresip dalam menarik dana masyarakat, dengan mengeluarkan berbagai produk baru disertai berbagai pemberian hadiah yang cukup merangsang. Kenaikan dana masyarakat sebesar 90% ini , lebih besar dari kenaikan pada 1992 yang hanya 13% dan kenaikan pada 1991 , sebesar 67%.

Prestasi bank-bank pemerintah dalam meningkatkan pengumpulan dana masyarakat cukup bagus. Dana pihak ketiga yang berhasil ditarik BNI meningkat 27%. Yang berhasil ditarik Bank Exim dan BBD, masing masing naik 34% dan 22%. Hanya BRI dan BDN yang lamban dalam meningkatkan dana masyarakat ini. Dana yang ditarik BRI hanya naik 5%, dan yang ditarik BDN naik 7%. Ironisnya, justru Bapindo yang berhasil meningkatkan dana masyarakatnya dengan spektakuler. Dana masyarakat yang berhasil ditarik Bapindo pada 1993 melonjak 97%, atau kenaikan hampir dua kali lipat. Kemungkinan besar ini terjadi sebelum terungkapnya kredit macet. Disamping itu, promosi Bapindo lewat iklan di RCTI yang dilakukan dengan gencar, pada saat itu, nampaknya cukup berhasil untuk menarik masyarakat untuk menyimpan uangnya di Bapindo.

Di jajaran bank swasta papan atas dan tengah, beberapa bank berhasil meningkatkan penarikan dana masyarakat lebih dari 50% seperti Bank Danamon, Bank Universal dan Bank Harapan Sentosa. Kenaikan deposito perbankan juga akibat adanya perobahan status beberapa Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB), yang menurut UU Perbankan 1992 mereka sekarang menjadi bank umum, yang dapat menerima deposito atau simpanan dari masyarakat. Bank PDFCI misalnya, dana masyarakatnya pada akhir 1993 mencapai Rp 205 miliar, padahal setahun sebelumnya, waktu masih menjadi LKBB dana pihak ketiganya cuma Rp 6 miliar. Deposito Uppindo dan Ficorinvest, keduanya mantan LKBB, pada 1993 meningkat masing masing dengan 217% dan 289%.

Jumlah kredit yang diberikan seluruh bank-bank pada 1993 meningkat 24%, setelah pertumbuhannya tertekan pada 1992, dimana kredit hanya bertambah 13%. Bank bank pemerintah, yang masih menghadapi masalah permodalan yang kecil dan kredit macet, selama 1993, lebih banyak melakukan konsolidasi dari pada melakukan ekspansi kredit. Langkah mereka dalam penyaluran kredit sangat hati hati, dan tidak seagresif bank-bank swasta. Ekspansi kredit bank-bank pemerintah cukup moderat. BNI, bank pemerintah terbesar, menambah kreditnya dengan 17%, padahal dana masyarakat yang dikumpulkannya naik 27%. Bapindo, yang berhasil meningkatkan dana masyarakat hampir 100%, hanya meningkatkan kreditnya 12%. BRI, BDN dan Exim, masing masing hanya menambah kreditnya dengan 6%, 9% dan 8%. Kredit BBD, bahkan turun 0,8%, padahal dana masyarakat yang dikumpulkannya naik 22%.

Perkembangan ini berbeda dengan yang terjadi pada bank-bank swasta papan atas. Pada umumnya mereka sangat agresip dalam meningkatkan kredit, dan tingkat kenaikannya lebih besar dari kenaikan dana yang dikumpulkannya dari masyarakat. Bank Danamon, Lippo Bank dan bank Panin misalnya meningkatkan pemberian kreditnya lebih dari 50%. Kekecualian hanya terjadi pada bank swasta terbesar BCA. Pada 1993, posisi kredit BCA hanya naik 5%.

Sebagai refleksi adanya kondisi perbankan yang lebih baik, maka laba seluruh bank-bank pada 1993 meningkat 94%, yang merupakan titik balik dari kondisi pada 1991 dan 1992, dimana saat itu, laba seluruh bank masing masing turun 2% dan 9%. Kenaikan laba sebesar itu, terutama disebabkan meningkatnya laba bank-bank pemerintah kecuali Bapindo, yang merupakan satu satunya bank pemerintah yang mengalami penurunan laba. Laba BDN misalnya naik 215% menjadi Rp 190 miliar. Laba BNI naik 52% dan laba BBD naik 73%. Diantara bank swasta, BII merupakan bank swasta yang menghasilkan laba terbesar. Pada 1993, laba BII meningkat 39% menjadi Rp 166 miliar. BCA saja, yang asetnya lebih dua kali lipat aset BII, hanya memperoleh laba Rp 100 miliar. Dan sekalipun aset BII jauh dibawah aset bank-bank pemerintah, tapi laba BII lebih besar dari laba yang diperoleh Bank Exim, BBD atau BRI.

MOTOR PENGGERAK KREDIT BANK

PAKET peraturan perbankan bulan Mei 1993, ( Pakmei ) dikeluarkan pemerintah sebagai respons terhadap sikap perbankan yang terlalu hati hati dalam pemberian kredit. Pada kuartal pertama 1993, menjelang dikeluarkannya Pakmei, kredit bank hanya naik 1%. Bank-bank bersikap hati hati dalam memberikan kredit, karena khawatir melanggar rasio-rasio yang ditetapkan Bank Indonesia, hingga bisa mengurangi tingkat kesehatannya. Mereka lebih senang menggunakan kelebihan dananya untuk membeli Sertifikat Bank Indonesia ( SBI ). Simpanan dalam bentuk SBI ini, disamping bunganya relatif tinggi, juga aman. Lebih aman, dari pada disalurkan sebagai kredit ke pengusaha, karena situasi bisnis masih belum menentu. Penyaluran kredit dalam situasi seperti ini, dinilai bank, mempunyai risiko tinggi.

Dengan banyaknya dana bank yang disimpan dalam bentuk SBI, maka jumlah SBI terus meningkat sejak triwulan dua 1992, sampai triwulan satu 1993, padahal, suku bunga SBI dalam jangka waktu yang sama terus turun. Pada akhir Juni 1992, posisi SBI masih Rp 15,5 triliun. Pada akhir tahun 1992, posisi ini naik menjadi Rp Rp 20,6 triliun, dan pada triwulan satu 1993, posisinya naik lagi menjadi Rp 23 triliun. Pada akhir Juni 1993, setelah Pakmei, posisi SBI turun menjadi Rp 18,7 triliun. Suku bunga SBI, antara Juni 1992 dan 1993 turun dari 16,5% menjadi 9,6%. Akibat tertumpuknya dana perbankan sebagai SBI, maka beban BI dalam membayar bunga SBI ini cukup berat, yang memaksa BI untuk terus membuat SBI kurang menarik.

Sementara itu, BI, sudah mulai…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

J
JALANNYA MULUS LAGI
1994-03-05

Survei industri otomotif di indonesia, mulai gejolak pasar hingga industri komponen. kijang diangap mobil keluarga…

K
KEBANGKITAN BANK SWASTA?: SURVEY PERBANKAN
1994-06-04

Riset dan analisa pdat tentang dunia perbankan, dari soal bank yang melonjak, bank yang menurun,…

B
Bukan Industri Mainan
1993-07-10

Beberapa industri strategis indonesia sudah mencapai kemajuan teknologi yang berarti, namun masih mengalamai keterbatasan dana…