"di Singapura, Lukisan Lee Man Fong Banyak Dipalsu"

Edisi: 39/42 / Tanggal : 2013-12-01 / Halaman : 68 / Rubrik : SEL / Penulis : Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim, Dian Yuliastuti


Lee Man Fong merupakan pelukis legendaris. Maestro kelahiran Guangzhou, Cina, ini terkenal dengan lukisan ikan-ikan koki, perempuan telanjang, potret-potret diri, dan satwa-satwa, dengan teknik khas yang memadukan gaya Barat dan Cina. Presiden Sukarno menyebut dia "penggubah puisi dalam lukisan" dan mengangkat Man Fong sebagai Pelukis Istana, menggantikan Dullah, pada 1962. Di Istana, dia mempunyai otoritas "mengatur" selera seni rupa Presiden RI pertama itu.

Man Fong sangat produktif. Sepanjang karier kesenimanannya, 1930-1988, Man Fong melahirkan ratusan lukisan yang hingga kini menjadi buruan kolektor. Baru-baru ini, di sebuah balai lelang, salah satu lukisannya terjual dengan harga fantastis: sekitar Rp 30 miliar!

Namun, di pengujung hidupnya, dia nyaris dilupakan. Kematiannya pada 1988 tak banyak diketahui, termasuk di kalangan seniman Indonesia, bila keluarganya tak memasang iklan duka di koran.

November ini adalah 100 tahun "kehidupan" Lee Man Fong dihitung dari bulan dan tahun kelahirannya—ia lahir pada November 1913. Tak ada yang merayakannya. Tak ada diskusi mengenainya. Tak ada pameran lukisannya di museum. Tak ada galeri yang membuat lomba esai mengenainya. Itu berbeda dengan Sudjojono (almarhum), yang 100 tahun hari lahirnya juga dirayakan tahun ini. Di mana-mana ada peringatan mengenai Sudjojono. Maka Tempo berusaha menelusuri sejarah hidup Man Fong melalui Lee Rern.

Pada awal November lalu, Tempo bertemu dengan Lee Rern di dua tempat berbeda, di rumah makan khas Cina di Mangga Besar dan di rumah seorang kolektor—keduanya di kawasan Jakarta Kota. Ia sengaja datang dari Singapura memenuhi permintaan wawancara Tempo. Secara eksklusif, Lee Rern menuturkan bagian hidup ayahnya yang belum banyak dipublikasikan.

Saya ingat Ayah meninggal pada 3 April 1988 di Rumah Sakit Saint Carolus, Jakarta Pusat. Ayah wafat karena komplikasi bronkitis dan ginjal, yang dideritanya sejak sekitar tiga tahun sebelum dia meninggal. Ayah terkena penyakit ginjal ketika pergi ke India bersama para pelukis Singapura berburu obyek lukisan kuil-kuil dan sebagainya. Di India sulit air. Untuk minum, Ayah terpaksa menampung air hujan, yang kadang-kadang tidak layak minum. Akhirnya, ginjalnya kena.

Jenazah Ayah kemudian dikremasi di Cilincing, Jakarta Utara. Sesuai dengan tradisi Cina, saya dan adik saya mendapat tugas menghancurkan tengkoraknya. Dengan menyewa perahu, kami melepas abunya di laut, sekitar 200 meter dari pantai Cilincing. Ayah berpesan kepada kami, jika dia meninggal, abunya dibuang ke laut.

Dengan suara yang agak serak, Lee Rern berkisah tentang hari-hari terakhir ayahnya. Mengenakan jaket biru dan celana abu-abu tua, ia menuturkan penggal kehidupan Lee Man Fong yang di sini hampir dilupakan itu.

Ayah lahir di Guangzhou, Cina, pada November 1913. Saya tidak tahu persis tanggalnya. Tapi, dalam sejumlah literatur, disebutkan Ayah lahir pada 14 November. Saat berusia tiga tahun,…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…