Dari Rumah W.R. Soepratman sampai Tan Malaka

Edisi: 24/44 / Tanggal : 2015-08-16 / Halaman : 48 / Rubrik : SEL / Penulis : Firman Atmakusuma, Dian Yuliastuti, Hisyam Luthfiana


Banyak bekas rumah tokoh kemerdekaan dan pendiri negeri ini mengalami nasib mengenaskan. Tak terawat, setengah hancur, juga ada yang beralih fungsi. Meski sebagian sudah berstatus cagar budaya, kondisinya tetap menyedihkan. Tempo menapak tilas ke rumah-rumah mereka dari Jakarta, Padang, Surabaya, hingga Maluku. Dari rumah W.R. Soepratman, Douwes Dekker, sampai Tan Malaka. Rumah yang masih terpelihara pada umumnya lantaran ada inisiatif keluarga besar yang peduli untuk tetap menjaga kelestariannya.

Selasar antara ruang perawatan dan radiologi Rumah Sakit Adjidarmo, Rangkasbitung, Lebak, Banten, siang itu disesaki keluarga pasien. Beberapa orang tampak duduk-duduk sembari ngobrol dan merokok di pembatas selasar. Dari tempat itu, mereka bisa melihat sebuah rumah yang tak lagi utuh, terbengkalai, dan berada di area parkir rumah sakit berlantai tiga tersebut.

Bangunan yang sama sekali tak layak huni itu dipercaya sebagai bekas rumah Eduard Douwes Dekker atau Multatuli, pengarang buku Max Havelaar. Novel yang terbit pada 1860 ini sempat mengguncang Eropa. Pokok-pokok pemikiran dalam buku ini mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah Hindia Belanda dan melahirkan politik etis, balas budi kepada rakyat Nusantara.

Rumah itu tampak lawas, kusam, dan mungkin lebih pantas disebut gudang ketimbang rumah bekas asisten residen Belanda yang menjabat selama tiga bulan. "Saya baru sekali ke sini. Enggak tahu bangunan apa itu," ujar lelaki yang mengaku bernama Rahmat dari Kuningan, Kamis pekan lalu. Bagian teras depan tergenang air dan bau pesing. Sampah botol minuman plastik dan kertas pembungkus makanan berserakan. Di bagian lain, selembar karpet plastik dan segulung kasur bekas teronggok begitu saja di ujung depan bangunan. Melongok ke dalam melalui kaca nako yang terlapisi debu tebal, terlihat tumpukan kardus berisi botol obat.

Pengunjung dan pegawai rumah sakit sama sekali tak ambil pusing dengan keberadaan rumah tersebut. Sekalipun ada plang bertulisan bangunan cagar budaya di bagian depan, tak terlihat bahwa mereka tertarik untuk membacanya. Justru warga asing yang menaruh perhatian serius terhadap rumah tersebut.

"Beberapa hari lalu ada bule datang, katanya dari Jerman. Ia memotret rumah itu," ujar Suryo, pegawai rumah sakit. Suryo mengaku tahu bahwa rumah tersebut termasuk cagar budaya. Dia juga tahu Eduard Douwes Dekker dari buku sejarah. "Sayang juga dibiarkan seperti itu," ujarnya.

Kerusakan dan pembiaran menjadi semacam gudang di rumah sakit ini tampaknya sudah menahun. Pada 2010, Tempo pernah mengunjungi rumah ini untuk mencari jejak Multatuli pada peringatan 150 tahun pengarang buku Max Havelaar tersebut. Rusak, sampah, dan bau pesing pun sudah terasa saat itu. Entah sejak kapan rumah ini dibiarkan begitu saja.

Pemerintah Kabupaten Lebak belum memberi perhatian terhadap bangunan cagar budaya ini. "Memang belum ada kebijakan soal itu. Kami baru menancapkan plang cagar budaya. Itu saja. Langkah kecil ini baru bersandar pada Undang-Undang Cagar Budaya," ujar Wawan Sukmara, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

Z
Zhirinovsky, Pemimpin dari Jalanan
1994-05-14

Vladimir zhirinovsky, ketua partai liberal demokrat, mencita-citakan terwujudnya kekaisaran rusia yang dulu pernah mengusai negara-negara…

J
Janji-Janji dari Nigeria
1994-03-12

Di indonesia mulai beredar surat-surat yang menawarkan kerja sama transfer uang miliaran rupiah dari nigeria.…

N
Negeri Asal Surat Tipuan
1994-03-12

Republik federasi nigeria, negeri yang tak habis-habisnya diguncang kudeta militer sejak merdeka 1 oktober 1960.…