Indonesia Lab, Frankfurt, Dan Tari Kontemporer Kita
Edisi: 34/44 / Tanggal : 2015-10-25 / Halaman : 44 / Rubrik : IMZ / Penulis : Seno Joko Suyono, ,
TUJUH pasang kaki penari remaja Jailolo itu berderap. Berlompatan bagaikan pegas. Hampir satu setengah jam. Mereka bergerak membentuk berbagai formasi. Seperti kelompok ikan di dasar laut, seorang menyisih dari kelompok, memecah, menyebar, mengumpul lagi. Semua dilakukan dengan kaki-kaki yang terus-menerus bouncing, bergetar. Stamina mereka luar biasa. Peluh bercucuran.
Selama dua malam berturut-turut, Cry Jailolo karya Eko Supriyanto mengundang tepuk tangan yang hebat di gedung pertunjukan Mousonturm Frankfurt. Eko tampil dalam program Indonesia LAB. Inilah sebuah tari yang mengandalkan kekuatan otot-otot kaki. Inilah sebuah tari yang kembali kepada kemurnian tubuh. Sederhana. Minimalis. Bertolak dari elemen-elemen tradisi tapi hasilnya kontemporer.
Penonton penasaran. Apalagi ketika menyadari bahwa para penari Eko bukan penari profesional, melainkan anak-anak nelayan Jailolo. Mereka bertanya di manakah letak Halmahera Barat. Di manakah letak Jailolo. Mereka ingin tahu kehidupan beragama di Maluku Utara sekarang. Jailolo termasuk kawasan yang pernah dilanda konflik muslim-Katolik. "Anak-anak itu menyaksikan dengan mata kepala sendiri perang tersebut," kata Eko. Beberapa penari memiliki pengalaman pahit. "Ada yang lahir dari seorang ibu gila. Ada yang pernah hampir terbunuh tapi kemudian justru dilindungi keluarga Katolik."
Untuk kebutuhan koreografi tarinya, Eko meriset tari-tarian di Jailolo. "Saya mengambil elemen tari Legusalai dari suku Sahu dan Soya-Soya, tarian perang khas Maluku Utara," ujarnya. Menurut Eko, getaran kaki ia ambil dari khazanah tari Legusalai. "Gerakan aslinya disertai tangan melambai-lambai." Dalam koreografinya, Eko lalu menambah tenaga. "Tempo saya cepatkan. Volume gerak saya tambah." Eko melihat ketahanan fisik remaja-remaja Jailolo luar biasa. "Mereka biasa memanjat pohon kelapa mengambil kopra. Bisa 50 pohon kelapa sehari. Bayangkan. Setelah itu, mereka langsung nyemplung ke laut." Bersama mereka, Eko menyelam. Di dalam laut, ia melihat kumpulan-kumpulan menggerombol, menyebar, mengumpul kembali. Itu dijadikannya ide koreografi.
Tapi mula-mula susah mengajak para remaja itu berlatih. Di Jailolo, anak-anak usia 17-21 tahun tak lazim menari. "Tari mereka selalu didominasi anak kecil atau orang tua. Generasi tengah tak ada," kata Eko. Keikutsertaan anak-anak itu berlatih terutama dilarang oleh orang tua mereka. Hampir tiap orang tua di Jailolo menginginkan anak laki-lakinya menjadi tentara atau polisi. Remaja-remaja itu awalnya sampai sembunyi-sembunyi saat latihan. "Ada penari saya yang saat latihan didatangi bapaknya. Ia dijambak dan diseret pulang," ujar Eko.
Tapi, setelah selesai, hasilnya mengejutkan Eko sendiri dan seluruh warga Jailolo. Selama kariernya sebagai koreografer, Eko tidak pernah sesukses sekarang. Ia membuat hat-trick. Selama tiga bulan Cry Jailolo berkeliling sepuluh festival di tiga benua. Dimulai pada Agustus berpentas di Darwin, Australia, mereka kemudian tampil di Hamburg (Jerman)-Groningen (Belanda)-Totori (Jepang)-Adelaide (Australia)-Zurich (Swiss)-Antwerp (Belgia). "Setelah dari Frankfurt, kami main di Düsseldorf, lalu Singapura," kata Eko. Dan, di setiap festival itu, mereka main bukan satu kali, melainkan bisa empat kali. Ada yang bahkan menjadi opening festival. Misalnya di Totori, Adelaide, dan Antwerp.
"Belum pernah terjadi dalam sejarah tari Indonesia ada touring international koreografer sebanyak ini. Sardono saja paling banyak bila ke Eropa hanya tiga kali pentas berturut-turut," ujar Iskandar Loedin, penata lampu…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Iqbal, Sang ’Allama
2008-04-20Tanggal 21 april 2008 menandai genap tujuh dekade wafatnya muhammad iqbal. selaku politikusnegarawan, sumbangan terbesar…
Iqbal, Sang Politikus
2008-04-20Sebuah pidato terlontar di depan anggota partai politik liga muslim pada 29 desember 1930 di…
Kerajaan Cinta dalam Senyap Mawar
2008-04-20Tidak mudah menguraikan kekuatan puisi seorang penyair besar, kecuali melalui perbandingan sajak dengan penyair lain…