Komunitas Rifa'iyah, Batik, danLaku Spiritual

Edisi: 52/44 / Tanggal : 2016-02-28 / Halaman : 58 / Rubrik : IMZ / Penulis : Sohirin., ,


Di dapur rumahnya yang berukuran 6 x 4 meter di Desa Kalipucang Wetan, Batang, Jawa Tengah, Kamilah mengisi hari-harinya dengan membatik. Sabtu pagi awal Februari lalu, perempuan 75 tahun itu bersama kedua anaknya, Nisyumah (48) dan Masitoh (41), mulai menyalakan kompor kecil untuk memanaskan lilin di wajan. Mereka duduk mengelilingi kompor. Sejurus kemudian, secara bergantian tangan kanan mereka memasukkan kepala canting ke dalam wajan untuk mengambil cairan lilin, meniup ujung canting agar arus lilin tak tersendat, lalu canting-canting mereka menari di atas kain mori yang disangga tangan kiri.

Goresan tangan canting itu perlahan membentuk klowongan (pola) atau membuat isen-isen (ornamen latar motif batik) dengan teliti dan telaten. Untuk memudahkan proses pembatikan, terkadang ujung mori disampirkan di atas gawang dari bilah bambu. Kesibukan membatik ini menjadi keseharian Kamilah dan kedua adiknya. Biasanya mereka membatik setelah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah.

Kamilah adalah satu dari sekitar 80 perempuan warga Rifa'iyah, pengikut ajaran keislaman Syekh Ahmad Rifa'i, yang hidup pada 1786-1869, di Kalipucang Wetan, yang hingga kini masih meneruskan tradisi membatik. Batik yang mereka buat dikenal sebagai batik Rifa'iyah.

Tradisi membatik perempuan Rifa'iyah sudah turun temurun hingga beberapa generasi. Pelajaran membatik diawali pada usia 10 tahun atau ketika usia beranjak remaja. Kamilah belajar membatik dari mendiang ibunya, Hajah Siti. "Ibu saya belajar membatik dari ibu dan neneknya," kata Kamilah. "Mungkin sejak ada Kampung Kalipucang Wetan, leluhur kami sudah membatik."

Bagi perempuan penganut ajaran Rifa'iyah di daerah Batang dan Pekalongan, Jawa Tengah, membatik tak sekadar melukis mori dengan cairan lilin dengan berbagai motif dan ragam hiasnya. Lebih dari itu, membatik adalah laku spiritual dalam merawat tradisi dan keyakinan. "Inilah yang menjadikan batik Rifa'iyah atau batik yang dihasilkan para pembatik dari komunitas Rifa'iyah memiliki karakter khusus, dan terjaga dari generasi ke generasi sampai saat ini," ujar Miftakhutin, Ketua Paguyuban Pembatik Rifa'iyah Desa Kalipucang Wetan.

Sebetulnya warga Rifa'iyah tak pernah menggunakan istilah batik Rifa'iyah. Istilah itu berasal dari para peneliti untuk mempermudah penyebutan jenis batik yang dihasilkan warga Rifa'iyah yang memang khas dan unik, berbeda dengan batik di luar warga Rifa'iyah.

Batik Rifa'iyah adalah ekspresi seni dan identitas warga Rifa'iyah. Dibuat dan diedarkan secara terbatas di kalangan Rifa'iyah yang tersebar di beberapa daerah. Masyarakat di luar komunitas Rifa'iyah kurang mengenal batik yang oleh para peneliti digolongkan sebagai batik klasik serta unik itu. Dikatakan unik karena sejatinya batik bukan sekadar kain yang dilukis dengan lilin. Selain dihasilkan dengan proses yang panjang, dalam selembar batik terkandung makna budaya, ajaran, dan falsafah hidup masyarakat. "Batik Rifa'iyah memiliki seni yang tinggi, sarat dengan nilai dan unik," kata Zahir Widadi, Dekan Fakultas Batik Universitas Pekalongan. Unik karena mempertahankan motif klasik yang tidak disetir selera pasar. "Berbeda dengan batik di luar Rifa'iyah, yang ragam hiasnya memenuhi pesanan desainer atau pembeli," Zahir menjelaskan.

Hingga 10 tahun lalu, batik Rifa'iyah hanya dikenal di kalangan Rifa'iyah atau peneliti batik. Namun kini popularitasnya mulai keluar…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

I
Iqbal, Sang ’Allama
2008-04-20

Tanggal 21 april 2008 menandai genap tujuh dekade wafatnya muhammad iqbal. selaku politikusnegara­wan, sumbangan terbesar…

I
Iqbal, Sang Politikus
2008-04-20

Sebuah pidato terlontar di depan anggota partai politik liga muslim pada 29 desember 1930 di…

K
Kerajaan Cinta dalam Senyap Mawar
2008-04-20

Tidak mudah menguraikan kekuatan puisi seorang penyair besar, kecuali melalui perbandingan sajak dengan penyair lain…