DARI RAMAYANA SAMPAI RENDRA

Edisi: 37/20 / Tanggal : 1990-11-10 / Halaman : 73 / Rubrik : REF / Penulis :


DARI RAMAYANA SAMPAI RENDRA Oleh: Goenawan Mohamad

; GOENAWAN MOHAMAD. Salah seorang pendiri dan pemimpin redaksi TEMPO ini mula-mula
dikenal sebagai salah seorang penyair dan penulis esei. Lahir di Batang, Jawa
Tengah, 29 Juli 1941, Goenawan menerbitkan kumpulan puisi pertamanya, Pariksit,
pada 1969. Kemudian terbit Interlude, 1971. Kumpulan eseinya dibukukan pada 1972,
Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang. Dan 1980 terbit Seks,
Sastra, dan Kita.

; Ketika Dewan Kesenian Jakarta dibentuk pertama kalinya, 1968, ia ditunjuk
sebagai salah seorang anggota. Goenawan juga duduk dalam Dewan Penasihat
majalah sastra Horison.

; Tulisannya tentang teater ini diterjemahkan dari karangannya dalam bahasa Inggris,
yang ia tulis sewaktu mengikuti Nieman Fellowship di Harvard pada September
1989-Juni 1990. Tulisan tersebut dibuat untuk penerbitan KIAS di Amerika Serikat.

; DARI RAMAYANA SAMPAI RENDRA: Sebuah Eksperimen Bernama "TIM"
oleh: Goenawan Mohamad

; SAYA pernah mengunjungi candi-candi Hindu dan reruntuhannya di Prambanan,
Jawa Tengah, saat purnama dan orang mementaskan satu cuplikan kisah Ramayana
di panggung beton abu-abu. Itu tahun 1969. Saya bersama seorang pelukis tak
terkenal Inggris yang berkelana ke berbagai tempat. "Charlie Chaplin pernah ke
sini," kata saya padanya tentang satu hari di tahun 1961, ketika sang pelawak
besar itu mengunjungi Prambanan, ditemani Presiden Soekarno sendiri, untuk
melihat malam pembukaan sendratari Ramayana.

; Kawan Inggrisku tidak terkesan. Pemandangan memang menakjubkan, dengan sinar bulan
yang senyap menerangi lengkung-lengkung batu pahatan kuno yang telanjang dalam
siluet. Musik gamelan hampir-hampir gaib, menembus gelap yang rapuh, tanpa arah.
Tapi pertunjukan itu sendiri tanpa gairah. Warna-warna cerah adegan di hutan gagal
menyemarakkan suasana. Hanya sejumput penonton duduk di balkon. Ketika
pertunjukan berakhir, tak ada tepuk tangan. Kami kembali ke hotel di
Yogyakarta, sekitar 9 kilo jauhnya, sambil menggerutu.

; Esok paginya saya kembali ke Prambanan. Saya berjalan sekeliling panggung
Ramayana, mengendap masuk ke bagian rendahnya, dan melihat betapa menyedihkannya
keadaan di dalam. Kamar-kamar sumpek. Cermin rias kotor. Jendela reyot yang
berderik. Tak ada orang yang membersihkan lantai. Bangunan itu belum sampai 10
tahun umurnya, tapi hanya sebuah tulisan dalam cat hitam yang jelas pada salah
satu dinding di koridor yang tak ikut butut bersama waktu: "Selama sungai masih
mengalir ke laut, sendratari Ramayana tak akan mati." Bagi saya kata-kata itu
tampak seperti goresan tangan terakhir, bahkan mungkin wasiat, seorang prajurit
yang terus bertahan sampai tempat perlindungannya dihancurkan dan sebuah kekuatan
besar tapi tak dikenal memaksa masuk.

; Itu tahun 1969. Bagi saya, tampaknya ekor kegalauan politis dan kekacauan ekonomi
yang melanda Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya membuat usaha pemeliharaan yang
baik maupun usaha menjaga keutuhan rombongan tak mungkin dilakukan oleh manajer
teater mana pun. Melihat tiadanya harapan dalam lingkungan menyedihkan macam itu,
banyak penari dan pemusik terbaik Ramayana memilih keluar.

; Kemunduran sendratari Ramayana adalah indikasi keadaan menyedihkan dunia seni
panggung Indonesia secara umum. Terutama, mungkin -- lebih daripada bentuk seni
yang lain -- teater-teater menyatakan keterlibatannya dengan masyarakatnya dengan
cara lebih langsung. Teater memerlukan masyarakat yang datang menonton,
membutuhkan satu bentuk pelindung atau semacamnya, dan memerlukan tingkat
kebebasan tertentu yang bisa disetujui masyarakatnya.

; Untuk mencari lingkungan yang lebih mendukung kelebihan, keterampilan, dan ambisi
merekalah, para penari Prambanan -- seperti banyak pekerja seni sebelum mereka --
memutuskan pindah ke ibu kota, pindah ke Jakarta.

; II

; SEJAK November 1968, di Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM) telah menjadi
pusat perhatian kehidupan budaya dan intelektual di negeri ini. TIM dibangun
oleh gubernur Jakarta yang paling dinamis, Ali Sadikin, di tanah seluas enam
hektare, setelah sebuah kampanye pers oleh para cendekiawan Jakarta yang
menuntut didirikannya sebuah tempat umum untuk kegiatan kebudayaan. Lalu 25
orang -- kebanyakan penulis, pelukis, penari, dan pemusik terkemuka --
ditunjuk untuk duduk sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Tugas
mereka adalah merencanakan program-program pusat kesenian yang bermutu
tinggi.

; Trisno Sumardjo, penerjemah Shakespeare, menjadi ketua pertama DKJ.
Ketika ia meninggal karena stroke pada 1969, pada usia 59 tahun, Umar Kayam,
seorang kritikus dan penulis cerita pendek dengan empat tahun pengalaman dalam
pemerintahan (ia adalah Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film)
menggantikannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, Indonesia punya
cukup uang dan imajinasi untuk memulai usaha dalam kesenian seperti ini. Orde
Baru -- tatanan politik yang menggantikan "demokrasi terpimpin" Presiden
Soekarno pada tahun 1966 -- baru saja mulai. Kepulihan ekonomi telah mulai
membangkitkan banyak kegiatan, dan euforia kebebasan masih kuat. Pusat
Kesenian TIM berjalan dengan gagasan-gagasan yang bersumber dari, antara lain,
trauma tahun-tahun sebelumnya, ketika ekspresi artistik harus diarahkan sesuai
dengan petunjuk politik negara, dan ketika ide-ide "realisme sosialis"
diwajibkan atas kesenian dan kesusastraan Indonesia.

; Dewan Kesenian sungguh bersusah payah dalam menjaga otonominya untuk memutuskan
apa yang harus dipamerkan dan dipertunjukkan di TIM. Untuk menjamin
kemandiriannya, Dewan Kesenian mengusulkan pembentukan sebuah lembaga terpisah,
yang terdiri dari pentolan-pentolan kalangan intelektual Indonesia, yang disebut
Akademi Jakarta. Tugas utama lembaga ini mencalonkan anggota Dewan Kesenian setiap
dua tahun (mulai 1990 untuk tiap tiga tahun). Ini adalah cara untuk mencegah
campur tangan Pemerintah Daerah di masa depan dalam memilih orang-orang dan
menentukan kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah seni. Ali Sadikin
menyetujui rencana ini. Pemerintahan Daerah menyediakan dana untuk pusat
kesenian dan memberi keleluasaan bergerak pada Dewan Kesenian. Eksperimen
seperti itu tak pernah dilakukan sebelumnya.

; Tentu saja, ada masa-masa konflik dan ketegangan antara Pemerintah Daerah dan para
cendekiawan TIM. Namun,…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

R
REVOLUSI INDONESIA DALAM FILM-FILM
1990-11-10

Salim said mengupas perkembangan film indonesia. dikupas berbagai jenis film yang berkaitan dengan sejarah revolusi…

D
DARI RAMAYANA SAMPAI RENDRA
1990-11-10

Sejarah dan perkembangan taman ismail marzuki. muncul aktor dan aktris, sejumlah sutradara dan kelompok-kelompok teaternya.…

P
PERISTIWA "MANIKEBU": KESUSASTRAAN
1988-05-21

Kesaksian goenawan mohamad tentang peristiwa manifes kebudayaan (manikebu) di tahun 1960-an. manikebu kemudian diserang pki…