PERISTIWA "MANIKEBU": KESUSASTRAAN

Edisi: 12/18 / Tanggal : 1988-05-21 / Halaman : 1- / Rubrik : REF / Penulis :


I

8 MEI 1964 pagi, sebuah berita terdengar dari radio: Presiden Soekarno melarang "Manifes Kebudayaan". Bagi saya, kejadian itu sangat menyentakkan hati. Dan mungkin bukan hanya saya yang gugup.

Saya termasuk penanda tangan dokumen yang terlarang itu, dan meskipun saya aktif sejak mula, saya bukan orang terpenting. Waktu itu umur saya belum lagi 23. Tapi saya merasa terlibat betul di dalamnya. Apa yang terumuskan di sana - dengan segala keterbatasan dan kekonyolannya - bagaimanapun merupakan serangkaian pokok pikiran, suatu pendefinisian sikap dasar beberapa sastrawan dan intelektual Indonesia dalam menghadapi masalah yang akut waktu itu: hubungan kreativitas dan politik.

Sikap dasar itu sebenarnya tetap terungkap sampai sekarang walaupun ia bisa punya aneka yang lain. Tentu ini terutama karena mereka yang terlibat di dalamnya masih hidup. Tapi, tak kalah penting, juga karena soal-soal di Indonesia, dalam hal hubungan antara ekspresi kebudayaan, kekuasaan, dan masyarakat, secara esensial masih sering tampak sama. Ditengok kembali ke 8 Mei 24 tahun yang lalu itu, Manifes Kebudayaan itu, justru karena dinyatakan dilarang, bisa menegaskan kembali, dengan dirinya sendiri, posisi yang dicita-citakannya bagi kesenian dan kesusastraan dalam menghadapi soal politik dan kekuasaan di negeri ini.

Dengan alasan itu, saya mencoba mengingat kembali peristiwa yang terjadi kurang-lebih seperempat abad yang lalu itu. Sebenarnya masa silam seperti ini tak boleh teramat sering ditengok kembali: ada selalu kekenesan dalam memandangi sebuah album lama. Bagaimanapun masa lalu selalu membentuk endapan yang diam-diam dalam beting dan tebing arus hidup kita, meskipun kita biasa melenggang saja dengan semacam amnesia sejarah. Saya kira kita harus selalu bisa menghadapi masa lalu yang belum lama itu kembali. Tentu saja ada risiko bahwa luka yang mungkin belum lagi sembuh akan terulang sakitnya. Mungkin malah akan tergurat luka banu. Tapi pasti bukan untuk itu tujuan tulisan ini.

II

Pada bulan September 1963, majalah bulanan Sastra yang terbit di Jakarta keluar dengan sesuatu yang istimewa. Di halaman 27-29, tercantum semacam dokumen yang diberi nama "Manifes Kebudayaan". Bagian awalnya, satu pagina penuh:

Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita, dan politik kebudayaan nasional kami.

Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersamasama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.

Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.

Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.)

Halaman berikutnya diisi dengan sebuah "Penjelasan" yang panjang. Di bawah halaman pertama itu tercantum 20 nama: 16 penulis, 3 pelukis, dan 1 komponis 2)

Orang-orang itu umumnya masih berada dalam usia 20-an, dan, seperti halnya saya, baru punya sejumput tulisan - puisi, cerita pendek, esei pendek. Yang pelukis juga umumnya belum lagi pernah berpameran tunggal. Mungkin dari kelompok inilah Manifes Kebudayaan telah, dan akan, memperoleh tenaga geraknya. Tapi jika ada pengaruhnya yang kemudian terasa keluar, pasti itu akibat tiga nama pertama yang meneken pernyataan di majalah Sastra itu.

H.B. Jassin, kita tahu, adalah kritikus utama dalam kesusastraan Indonesia sesudah Perang. Orang memperolok-olokkannya sebagai sang "Paus", karena penilaiannya begitu didengar para peminat sastra dan juga para penulis sendiri. Trisno Sumardjo sudah dikenal sebagai penerjemah Shakespeare, penulis kritik seni, dan penulis cerita pendek. Wiratmo Soekito - yang banyak menulis esei kefilsafatan dan berceramah - waktu itu cukup berpengaruh di kalangan intelektual Indonesia yang lebih muda.

Dengan segera terlihat bahwa Manifes itu - apa pun niat kami semula untuk menyusun dan mengumumkannya - tampil seperti sebuah surat tantangan, atau, juga, sebuah undangan untuk pengganyangan. Sejak September 1963 sampai dengan 8 Mei 1964, serangkaian kampanye yang sengit, kadang terasa tidak adil, dan yang jelas sistematis, dilancarkan terutama oleh para mereka yang punya hubungan dengan PKI dan PNI. Selama tujuh bulan Manifes Kebudayaan itu diserang lewat statemen, pidato, dan tulisan, sampai pada akhirnya ia dinyatakan dilarang.

Para penulis yang terlibat di dalamnya dengan segera dinyatakan sebagai "kontrarevolusi" sebuah cap kejahatan di masa itu. Mereka tak lagi bisa menulis di penerbitan mana pun. Beberapa penanda tangan yang punya posisi di universitas ataupun di kepegawaian negeri, seperti H.B. Jassin dan Wiratmo Soekito, digeser. Rapat umum dan resolusi, terutama yang digerakkan PKI, terdengar, menuntut disingkirkannya "unsur-unsur Manikebu" (akronim ini diperkenalkan oleh koran resmi PKI Harian akjat - sebuah julukan jelek yang kemudian melekat, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh bahasa kaum komunis waktu itu) dari pelbagai lapangan kegiatan.

Kini memang harus diakui bahwa pengganyangan seperti itu belum sebanding dengan yang ditanggungkan para penulis dan cendekiawan prokomunis setelah hancurnya PKI secara keras dan berdarah beberapa waktu setelah 1965. Namun, dalam suasana politik Indonesia pra-1965, ketika PKI tampak semakin dekat ke kemenangan, sementara lawan politiknya rontok satu demi satu, orang-orang "Manikebu" agaknya yang tak punya ilusi tentang apa yang bisa jadi nasib mereka bila PKI akhirnya mengambil alih kekuasaan di Indonesia.

Kami waktu itu memang belum pernah mendengar kata gulag - kamp-kamp tahanan yang kemudian disebutkan oleh Solzhenitsyn itu dari pengalaman Uni Soviet; kami juga, dengan sendirinya, belum ahu apa yang dilakukan Pol Pot setelah dia menang terhadap cendekiawan Kamboja yang ia anggap "kontrarevolusioner". Tapi takbiat totalitarianisme - dan sikapnya terhadap lawan berpikir sudah bisa kami duga. Apa yang kemudian kami ketahui telah terjadi di Kamboja, Vietnam, dan Cina (terutama di masa Revolusi Kebudayaan), hanya membenarkan dugaan itu.

Karena itulah barangkali segera sesudah pelarangan "Manikebu", sore harinya sejumlah penanda tangan Manifes mengetok kawat meminta maaf kepada Presiden Soekarno, sang Pemimpin Besar Revolusi. Bagi sebagian kami, kawat itu (seingat saya dikirimkan dua kali) merupakan tindakan yang menistakan diri. Bagi sebagian yang lain, telegram itu hanya satu-satunya jalan yang mungkin buat melindungi beberapa teman dari pengganyangan lebih lanjut.

Ada suasana ketakutan, memang. Segera setelah pelarangan, majalah Sastra terbit dengan dua kolomnya dicat hitam. Di sana tercantum sejumlah nama yang dicoba disembunyikan - nama-nama mereka yang menyusul ikut menyatakan persetujuannya kepada Manifes Kebudayaan.

III

APA yang dikehendaki Manifes Kebudayaan, sebenamya? Harus diakui bahwa naskah sepanjang tiga halaman itu tidak mudah diungkai. Barangkali di antara para penanda tangannya pun ada yang tak sepenuhnya memahami isinya; mereka tampil berdasarkan semata-mata setiakawan atau naluri lain. Sebagian besar, hampir 95%, isi "Manikebu" ditulis oleh Wiratmo Soekito. Ia sudah lama diketahui sebagai penulis yang nyaris tidak bisa dibaca karena sulitnya pengertian dan arus penalarannya - terutama bila ia berbicara tentang fenomenologi Husserl, tentang filsafat sejarah, tentang Marx dan Bergson. Siapa yang tak terbiasa dengan gayanya akan sulit menembus kamus dan jalan deduksi Wiratmo meskipun orang sering bisa merasakan semangatnya.

Tapi lebih penting dari faktor itu, hampir selunuh tubuh verbal Manifes Kebudayaan terbatasi oleh bahasa politik di masa itu. Dengan jelas banyak dipakai kalimat, bahkan acuan, dari tulisan dan pidato Bung Karno - yang waktu itu kian lama kian merupakan sumber ajaran satu-satunya yang harus dijadikan landasan, sesuai dengan ketentuan "demokrasi terpimpin".3)

Walau demikian, motif dasar Manifes Kebudayaan sebenarnya agak jelas: pernyataan itu suatu ikhtiar untuk memperoleh ruang yang lebih longgar bagi ekspresi kesenian yang mandiri - yang independen dari desakan politik dan pelbagai tata cara "revolusioner" tahun 1 960-an awal. Naskah itu berbicara, setelah mampir ke sana-kemari, tentang "rakyat di mana-mana di bawah kolong langit ini", yang "tidak mau ditindas oleh bangsa-bangsa lain, tidak mau dieksploitir oleh golongan-golongan mana pun, meskipun golongan itu adalah bangsanya sendiri". Rakyat itu, menurut Manifes, pada gilirannya "menuntut kebebasan dari kemiskinan dan rasa takut", termasuk, tentu saja, "kebebasan untuk mengeluarkan pendapat".

Dalam formulasi yang lebih langsung, tujuan Manifes juga tertera dalam sebuah artikel yang tanpa nama penulis yang mendampingi naskah pokok "Manikebu". Tulisan itu berjudul "Sejarah Lahirnya Manifes Kebudayaan", dan sebenarnya sayalah yang menulisnya: semacam usaha meringkaskan sejarah pemikiran para penggagasnya yang saya rumuskan dalam kalimat-kalimat yang melambung tapi juga terselubung, dalam usaha yang ruwet untuk menyesuaikan.diri dengan bahasa masa itu. Tapi di situ salah satu konsep yang penting adalah kebebasan kreatif. Kreativitas, begitulah di sana tertulis, "dalam sejarahnya menolak belenggu". Para karyawan kebudayaan memang memilih sosialisme, karena sosialisme "menjanjikan kebebasan". Meskipun demikian, kata artikel itu, dalam perjuangan ke arah kebebasan itu mereka "tidak hendak membuang kebebasan yang sekarang didapatkan buat memperoleh kebebasan yang lebih besar". Sebab, "dengan kebebasan itu mereka berjuang". Sebab, setiap situasi, "memaksakan kita untuk bebas." 3)

"Kebebasan" adalah kata yang besar - dan sebab itu cukup kabur - di tahun 1960-an. Pada umumnya memang hanus diakui bahwa masa "demokrasi terpimpin" bukanlah jenis totalitarianisme yang persis seperti yang dilukiskan Orwell dalam novel 1984 yang termasyhur itu. Namun, sistem politik ini mempunyai apa yang oleh Orwell disebut newspeak, "basabaru", dengan akronim-akronimnya yang membekukan daya analitis kita terhadap makna kata - suatu jenis kontrol terhadap jiwa dan pikiran yang secara tanpa disadari umumnya efektif. Besarnya wewenang negara di masa itu juga menampilkan wajah kekuasaan yang sering menakutkan, suatu kecenderungan yang tak juga pungkas sampai hari ini.

Salah satu ciri "demokrasi terpimpin" adalah kerasnya imbauan, atau desakan, agar orang senantiasa sadar akan doktrin negara yang waktu itu disebut "Manipol", singkatan dari "Manifesto Politik" Bung Karno. Nama itu dirumuskan dari pidatonya di tahun 1958.4) Di antara kita yang hidup di masa itu banyak yang akan ingat seruan yang tak putus-putusnya untuk menjalani "indoktrinasi". Kursus-kursus ideologi ini berlangsung di hampir tiap organisasi, dengan beberapa bahan pokok yang sudah ditentukan - dan sudah semestinya "ajaran Bung Karno" merupakan komponen yang utama. Juga Marxisme.

Pada akhirnya, tak banyak orang yang berpidato atau menulis tanpa mengutip bahan indoktrinasi itu. Kata "Revolusi" menjadi mantra yang bisa menenung: di depannya, kita dengan segera bisa menjadi pasrah atau menjadi garang.

Akibat yang langsung, khususnya bagi seorang penulis, adalah terasa menjadi kakunya rentangan ekspresi bahasa Indonesia. Bung Karno memang telah menyumbang banyak kata yang menambah warna perbendaharaan bahasa kita, tapi karakter bahasa yang dipakai saat itu umumnya bercorak agresif: kata "mengganyang" dan "mengeremus" dominan dalam idiom politik "demokrasi terpimpin". Ruang pun kian terbatas untuk bentukan konseptual yang menggunakan cara lain.

Apalagi bila orang, untuk menunjukkan lencana "revolusioner"-nya, cenderung mengulang-ulang desain kata yang sudah jadi patokan itu. Dengan cepatnya bahasa yang dipakai secara publik menjadi sebuah "bahasa otomatis", yang didominasi oleh slogan-slogan politik yang dengan gampang diulang-ulang, seperti tanpa berpikir lagi. Makin banyak kata benda bergerak menjadi abstrak: "Buruh", "Tani", "Rakyat", "Tanah Air", "Kemerdekaan" - kata-kata itu tidak lagi menunjuk ke suatu benda atau orang tertentu, melainkan ke arah maknanya yang generik, yang hanya mencakup ide.

Bagi seorang penyair yang hidup dengan rangkaian imaji yang kongkret - kata-kata yang dipetik dari benda-benda yang datang dan hilang di wilayah pancaindria - masa itu bukanlah masa yang mudah untuk menulis. Kian sedikit sastrawan yang mampu memperlakukan bahasa sebagai sumber avontur dan orisinalitas.

Pada suatu hari, duduk di bawah bayang-bayang pohon di Balai Budaya, Jakarta, saya lihat burungburung gereja terbang-hinggap, bergerak antara keteduhan dan cahaya, dan tiba-tiba saya menyadari bahwa saya juga telah begitu jauh dari apresiasi terhadap obyek-obyek kecil yang tampaknya tak berarti di sekitar saya; saya juga cendenung lebih mendengarkan dan menulis tentang ide-ide besar yang dikerudungi kata-kata besar. Tidak mengherankan bila Rendra, penyair yang sangat dekat dengan alam yang mentah dan rimbun itu, kemudian - di akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an, ketika "demokrasi terpimpin" runtuh tampil dengan lakon-lakon pendek yang bisa saya namakan "minikata": dengan menggunakan seminimal mungkin kata, Rendra kembali ke bahasa yang lebih awal, yakni gerak dan komposisi tubuh. Saya rasa itulah caranya untuk mengekspresikan diri secara sejati: dengan menjauhi bahasa Indonesia, yang hampir seluruh daya imaji dan kapasitas komunikasinya yang puitis telah dikuras oleh slogan-slogan.

Tapi tahun 1960-an awal itu barangkali memang bukan tahun untuk puisi. Setidaknya itulah masa ketika penyair akhirnya terdorong, karena satu dan lain hal, mengeksternalisasikan ruangnya yang inti, dunia batinnya. Agaknya, seperti yang juga saya rasakan, ada sejenis perasaan tidak enak untuk terpisah dari rangsang dan riam "revolusioner" masa itu.

Awal tahun 1960-an adalah masa mobilisasi. Mula-mula adalah pengerahan tenaga dan opini untuk pembebasan Irian Barat (kini: Irian Jaya). Segera sesudah itu di Jakarta diselenggarakan Asian Games - yang kemudian terbukti dapat membangkitkan perasaan nasionalistis, terutama ketika kemenangan yang luar biasa atlet-atlet Indonesia diganggu oleh pernyataan seorang pejabat pertandingan internasional itu, seorang India, bahwa Asian Games tidak sah, karena tak mengikut sertakan Israel. Segera sesudah itu, menjelang akhir 1963, pernyataan awal terdengar ke arah "konfrontasi" dengan Malaysia yang baru dibentuk. Suatu pergolakan politik terjadi di Brunei, dan dengan dimulai oleh partai-partai kiri, Indonesia mendukung "gerakan pembebasan nasional Kalimantan Utara".

Di tengah gemuruh seperti itulah (Orwell akan menyebutnya sebagai "a continuous frenz'), ada kesediaan yang tulus, meskipun barangkali naif, dari banyak penulis - dengan pelbagai kecenderungan aliran politik mereka - untuk membuat karya-karya yang berpaut dengan "tanah air" atau "massa rakyat". Sajak-sajak liris, yang "subyektif", dengan sendirinya seperti kehilangan peran, atau susut ke latar belakang. Salah satu sajak yang saya tulis dari masa itu, misalnya, adalah "Lagu Pekerja Malam". Cerita pendek terkemuka waktu itu ditulis oleh Bur Rasuanto, dengan latar belakang para pekerja di perusahaan minyak, yang kemudian dikumpulkan dalam Mereka Akan Bangkit. Hartojo Andangdjaja, seorang penyair dan penerjemah puisi yang menurut saya lebih kuat ketimbang Trisno Sumardjo, menerbitkan ode yang cukup panjang dengan judul "Rakyat".5)

Bagi sebagian penulis lain, agaknya, kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan corak sastra seperti yang tampak dalam masa yang militan seperti i lebih merupakan desakan dari luar. Seruan untuk senantiasa setia mengikuti "garis Manipol" bagaimanapun memang terasa doktriner. Dalam suasana politik yang terbentuk dalam semangat pengganyangan seperti itu - beberapa harian sudah dibredel dan sejumlah pemimpin oposisi, juga Wartawan dan Novelis Mochtar Lubis, dipenjarakan - seruan "garis Manipol" itu juga mengandung nada ancaman, jelas ataupun sayup.

IV

SEJAK akhir 1961, majalah Sastra - yang umumya belum lagi persis setahun - sudah diserang oleh para penulis yang tergabung dalam Lekra, sebuah organisasi kebudayaan yang punya hubungan kuat dengan PKI.

Sasaran pertama adalah dua cerita pendek oleh B. Sularto, "Tanah" dan "Rapat Perdamaian". Sularto waktu itu berusia 26 tahun (lahir di Purworejo, 1936), seorang sastrawan dari Semarang yang bekerja di Kantor Dinas Kebudayaan setempat. Cerita pertamanya adalah tentang sejumlah gelandangan yang ditahan polisi (tapi segera dilepaskan kembali, setelah dinasihati) karena mereka menduduki sepetak tanah millk kota praja. Cerita keduanya tentang sebuah rapat di kampung yang membahas ide perdamaian dunia.

Dalam membela keputusannya memuat cerita Sularto, H.B. Jassin, yang memimpin Sastra, menulis sebuah esei awal tahun yang isinya seperti laporan dan pertanggungjawaban pengasuh kepada pembaca. Di nomor Januari 1962 itu Jassin menolak "penyempitan daerah pengalaman" seorang sastrawan, "seperti ternyata dari hasil-hasil kesusastraan yang didasarkan pada slogan-slogan politik dan ideologi semata-mata". Menurut Jassin, hasil penyempitan seperti itu mau tak mau akan "kering dan kerdil seperti yang kita lihat di masa Jepang" 6)

Dengan menyebut "masa pendudukan Jepang", Jassin agaknya hendak menegaskan apa yang dimaksudkannya. Di masa Jepang itu (Jassin sendiri sudah membicarakannya dengan pelbagai contoh dalam sebuah buku khusus tentang masa ini, Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang), di awal 1940-an, para penulis dan seniman Indonesia diletakkan di bawah regimentasi penguasa, untuk memproduksikan karya-karya yang sesuai dengan tujuan dan kebijaksanaan Negara. Tampaknya, asumsi Jassin adalah bahwa para penulis Lekra dan para pengikut mereka ingin mendesakkan ide mereka tentang sastra sebagai bagian dari pekerjaan propaganda.

Ini menimbulkan reaksi lebih lanjut dari kalangan penulis Lekra. Mulai 16 Maret, 1962, Pramudya Ananta Toer, novelis Indonesia sesudah Perang yang paling terkemuka, membentuk sebuah lembaran kebudayaan di harian Bintang Timur, dengan nama "Lentera". Sudah dalam nomor pertama lembaran itu pula disebutkan - dalam sebuah kolom ringkas agak di tengah halaman, berjudul "Teori & Realitet" - bahwa cerita Sularto yang dimuat Sastra itu bersifat "reaksioner" (suatu tuduhan yang keras waktu itu, karena berarti "musuh Revolusi"), dan bahwa penjelasan Jassin merupakan "garis politik"nya.

Meskipun demikian, segera sesudah tulisan di kolom kecil itu, tak ada kritik "Lentera" yang lain terhadap Sastra. Namun, lembaran koran Bintang Timur itu sendiri sudah jelas pokok pendiriannya. Di awal Mei 1962, misalnya, "Lentera" memuat kutipan dari keputusan Sidang Pleno IV CCPKI, di bidang "intelektual dan budaya". Isinya antara lain memperingatkan semboyan "seni untuk seni" dan "ilmu untuk ilmu", dan memperingatkan pula, seraya mengutip Bung Karno, "jangan sampai subversif asing masuk ke dalam universitas-universitas".

Agaknya, senada dengan itu, pada terbitan 23 Juni 1962 Bintang Timur memuat sebuah tulisan yang mengkritik film Badai Selatan, yang dipilih ikut Festival Film di Berlin. Film produksi Ibukota Film itu yang antara lain dibintangi W.D. Mochtar, Sukamo M. Noor, dan Sofia Waldy itu dianggap kurang memenuhi kriteria, yakni adanya "kepribadian nasional yang patriotik dan persahabatan antarbangsa". Film Indonesia, kata tulisan itu, harus punya "konsep yang gamblang". Konsep itu "tidak perlu dicari-cari", karena sudah ada, yaitu "Manipol".

Nada tulisan itu, yang rendah, persuasif, tidak, kemudian terasa lagi beberapa bulan kernuan. Sebuah tulisan parang terbit di "Lentera" awal Agustus 1962, dengan judul "Gejala Sebuah Skisma dalam Cerpen Indonesia Dewasa Ini". Siapa pengarangnya tak disebut. Mungkin Pramudya sendiri. Isinya adalah sebuah pembahasan yang agak terinci tentang beberapa cerita pendek yang dimuat majalah Sastra. Tilikannya cukup tajam, dan nada kemarahan di dalamnya terasa murni, ketika mengupas tulisan Titie Said, Bur Rasuanto, Rendra, Iwan Simatupang, dan lain-lain. Namun, pada akhirnya tulisan itu hanyalah penegasan kepada garis politik negara yang bernama "Manipol" itu: "Tidak ada satu kekuatan sekarang ini yang bisa salahkan Manipol, yang merupakan rumusan yang tepat dari gerak hidup masyarakat dan nasion Indonesia dewasa ini." Dalam pada itu, menurut tulisan ini pula, "nilai moral" yang ada dalam Sastra "meragukan", karena "dia tidak berpihak pada the prespiring and toiling masses".7)

Di pekan berikutnya, Pramudya pun memulai seri tulisannya yang berjudul "Yang Harus Dibabat dan Harus Dibangun". Fokus kritiknya kini adalah sastrawan seperti S. Takdir Alisjahbana. Takdir dianggap sebagai seorang anggota PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang sudah dilarang pemerintah di tahun 1960. Takdir juga merupakan satu tokoh yang jadi simbol pemikiran "pro-Barat" - satu anggapan yang melekat sampai kini. Selama tahun 1960-an itu, Takdir hidup di luar negeri. Ini menyebabkan ia tampak seperti seorang renegade yang pas, dan siapa pun yang dihubungkan dengan namanya waktu itu akan merasa tak nyaman secara potik. Tampaknya, bagi Pramudya, sebagian penulis Indonesia seperti yang berkitar di majalah Sastra - trutama Iwan Simatupang, penulis cerita dan lakonyang aneh dan terasaasing itu - dengan jelas termasuk sekategori dengan Takdir.

Argumen Pramudya di sini kurang meyakinkan. Takdir bagaimanapun adalah penganjur adanya komitmen sosial dalam kesusastraan Indonesia satu hal yang juga dianjurkan Lekra, khususnya oleh Pramudya sendiri. Bahkan Takdir adalah orang pertama yang menggunakan alasan Maxim Gorki, penulis Uni Soviet yang ikut memelopori "realisme sosialis" itu, ketika ia mengedepankan posisinya yang menentang "seni untuk seri" dan menolak "indiviualisme".8)

Toh di tahun 1962, agaknya banyak orang yang sudah…

Keywords: -
Rp. 15.000

Artikel Majalah Text Lainnya

R
REVOLUSI INDONESIA DALAM FILM-FILM
1990-11-10

Salim said mengupas perkembangan film indonesia. dikupas berbagai jenis film yang berkaitan dengan sejarah revolusi…

D
DARI RAMAYANA SAMPAI RENDRA
1990-11-10

Sejarah dan perkembangan taman ismail marzuki. muncul aktor dan aktris, sejumlah sutradara dan kelompok-kelompok teaternya.…

P
PERISTIWA "MANIKEBU": KESUSASTRAAN
1988-05-21

Kesaksian goenawan mohamad tentang peristiwa manifes kebudayaan (manikebu) di tahun 1960-an. manikebu kemudian diserang pki…