Putu Wijaya Di Mana-mana
Edisi: 18/46 / Tanggal : 2017-07-02 / Halaman : 56 / Rubrik : SN / Penulis : Prihandoko, Bram Setiawan,
SUASANA panggung begitu mencekam. Gelap dan sepi. Di sekelilingnya, tampak titik-titik cahaya dari puluhan dupa menyala yang terpasang di dahan pohon-pohon jepun. Asapnya yang harum beterbangan di atas panggung 5 x 4 meter itu. Tak lama berselang, muncul seorang pria. Dia berdiri tegak, lalu memecah keheningan dengan suaranya yang lantang. "Ketika tangan dan kakiku lumpuh, dan tubuhku tak mampu lagi melontarkan seluruh kobaran batin yang bergelora di kepala," katanya. "Aku menatap ke langit yang tiba-tiba berbicara: anakku, jangan sesali apa yang kamu miliki."
Pria itu Putu Satria Kusuma, dramawan kelompok teater Kampung Seni Banyuning, Bali. Pada Rabu akhir Maret lalu itu, dia bermonolog dengan energetik di hadapan puluhan penonton di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja, Bali. Dari panggung, dia memanjat pohon jepun, mencabuti dupa, membuangnya, lalu berdiri di batang pohon. "Jangan pernah merasa segala hambatan menentangmu," ujarnya. "Kelemahan, kekurangan, bahkan kekalahan sekalipun adalah peluang terbaik untuk menang."
Pertunjukan 15 menit itu membuka Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya. Festival itu mementaskan monolog-monolog karya sastrawan Putu Wijaya secara maraton di seantero Bali pada Maret-Desember tahun ini. Penampilnya bukan hanya dramawan. Ada juga perupa dan dalang.…
Keywords: -
Artikel Majalah Text Lainnya
Ada Keramaian Seni, Jangan Bingung
1994-04-23Seminggu penuh sejumlah seniman menyuguhkan berbagai hal, bertolak dari seni pertunjukan, musik, dan seni rupa.…
Mempertahankan Perang Tanding
1994-06-25Reog khas ponorogo bisa bertahan, antara lain, berkat festival yang menginjak tahun ke-10. tapi, di…
Reog Tak Lagi Menyindir
1994-06-25Asal asul adanya reog ponorogo untuk memperingati perang tanding antara klanasewandono dengan singabarong.